Memberdayakan Wakaf Produktif

  • Share this:
post-title

Oleh: Sayed M. Husen/Analis Wakaf BMA 

Memberdayakan wakaf secara produktif dipahami lebih berdimensi ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Artinya dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf dimaksud akan memperoleh hasil (manfaat) yang bekelanjutan dan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan, serta terwujudnnya keadilan sosial dan ekonomi. Wakaf produktif berkontribusi terhadap penanggulangan kemiskinan, pengurangan pengangguran dan peningkatan kualitas sumber daya umat. Wakaf produktif bukan hanya dalam bentuk aset statis seperti tanah makam/kuburan, pertapakan masjid/musalla dan madrasah. Sebagian nazir memahami, bahwa wakaf produktif adalah wakaf di bidang ekonomi dan bisnis.  

Pengelolaan wakaf produktif berbeda dengan wakaf tanah untuk makam, masjid dan madrasah, yang tidak membutuhkan lebih banyak sumber daya manusia, manajemen dan finansial. Namun wakaf produktif harus dikelola oleh sumber daya nazir yang profesional, menerapkan prinsip-prinsip manajemen, memperhitungkan risiko dan “rugi/laba”. Sebagai wakaf, dipastikan yang paling utama adalah pelestarian aset wakaf dan keberlanjutan manfaat (mauquf alaih). 

Menurut Dr Muhammad Syafi’i Antonio MSc dalam pengantar buku Menuju Era Wakaf Produktif karya Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar (2006: vii-viii), ada tiga filosofi dasar yang harus ditekankan ketika hendak memberdayakan wakaf secara produktif. Pertama, pola menajamennya harus dalam bingkai “proyek yang terintegrasi”, bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah. Dengan bingkai proyek, sesungguhnya dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya. 

Kedua, asas kesejahteraan nazir. Sudah terlalu lama nazir seringkali diposisikan kerja asal-asalan alias lillahita’ala (dalam pengertian sisa-sisa waktu, bukan perhatian utama dan wajib “berpuasa”). Sebagai akibatnya, sering kali kinerja nazir asal-asalan juga. Oleh kerena itu, saatnya kita menjadikan nazir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada lulusan terbaik umat dan profesi yang memberikan kesejahteraan, bukan saja di akhirat, tapi juga di dunia. 

Ketiga, asas transparansi dan accountability di mana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan setiap tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya. Dalam hal ini, nazir harus mengirimkan laporan keuangan kepada wakif dan publik secara berkala.   

Sejauh ini pemberdayaan wakaf produktif di Aceh sangat terbatas. Masih merupakan hal baru dan memerlukan literasi yang lebih intensif. Dalam lima tahun terakhir, beberapa contoh dapat kita sebutkan seperti di kalangan Kemenag, Ihmal Market di Takengon, Kantin Wakaf di Bener Meriah, dan Air Isi Ulang di Meulaboh. Ada juga Kebun Kurma Barbatee, Lumbung Ternak ACT, dan Bank Wakaf Mikro Babul Maghfirah. Di bidang pendidikan ada Yayasan Haroen Ali, Yayasan Nurul Ishlah  dan Yayasan Meuligoe Al Quran. Di bidang komunikasi: program media wakaf news. 

Sementara Baitul Mal Aceh (BMA) sedang merintis program wakaf produktif ternak domba/kambing, unggas dan stimulus terharap 100 inkubasi wakaf produktif di seluruh Aceh. Tahap awal, BMA merencanakan anggaran mencapai Rp 12,5 miliar. Menurut Anggota Badan BMA, Mohammad Haikal, progam ini dapat segera dieksekusi begitu selesai revisi Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2018 tentang Baitul Mal dan pengesahan Peraturan Gubernur Aceh tentang Pengelolaan Wakaf.

Persoalan utama pemberdayaan wakaf produktif adalah ketersediaan nazir yang profesional dan modal usaha. Dalam konteks ini, BMA akan menginisiasi nazir negara yang bekerja penuh waktu dengan membentuk Badan Kenaziran Aceh (BKA). Badan Kenaziran dapat juga dibentuk pada tingkat kabupatan/kota dan kecamatan. Sementara modal usaha pengembangan wakaf produktif menggunakan dana infak yang dihimpun BMA ditambah investasi dari mitra nazir, pengusaha atau investor lainnya. Badan Kenaziran akan melakukan penggalangan wakaf uang dan berkolaborasi dengan mitra bisnis dalam mengembangkan wakaf produktif. 

Lalu bagaimana dengan nazir lainnya, apakah harus terus “berpuasa” seperti ditulis Muhammad Syafi’i Antonio? Untuk ini, saya pernah mendapatkan nasihat dari mantan Kepala BI Banda Aceh, Ahmad Lastawan Ramli, bahwa dalam mengembangkan usaha mulailah dengan memperbaiki  manajemen. Apabila manajemen sudah bagus, maka akan datang berbagai pihak menawarkan kemitraan dan tambahan modal. Saya mengamalkan nasihat itu dalam mengembangkan Baitul Qiradh Baiturrahman. Nasihatnya terbukti manjur. Hal yang sama sebenarnya dapat dilakukan oleh nazir dalam mengembangkan wakaf produktif. 

Karena itu, nazir yang hendak mengembangkan wakaf produktif, mulailah dengan bismillah dan niat yang ikhlas, lakukan studi kelayakan program yang hendak dikembangkan dan buat perencanaan yang baik. Selanjutnya lakukan marketing komunikasi wakaf, tata manajemen yang baik, dan pilih mitra nazir yang kredibel. Jangan lupa sampaikan laporan keuangan sesecara berkala secara terbuka. Dalam hal ini, BMA siap menjadi mitra sukses anda. Dengan semangat ini, sekecil apapun programnya kita telah berperan memberdayakan wakaf produktif di Aceh.*