Wakaf Menurut Mazhab Fikih

  • Share this:
post-title

Oleh Sayed M. Husen/Analis Wakaf BMA

Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti, menahan berhenti, diam di tempat atau tetap berdiri“. Kata waqafa yaitu “waqfan” sama artinya dengan “habasa-yahbisu-tahbisan”. Kata “waqf” dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian: menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan.

Menurut Drs H Ahmad Djunaidi dkk dalam bukunya Fiqih Wakaf (2004: 1-4), para ahli fikih berbeda dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut:

Wakaf menurut Abu Hanifah adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik wakif dalam rangka menggunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu, maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari wakif, bahkan dia dibenarkan menarik kembali dan boleh menjualnya. Jika wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan ahli warisnya. 

Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu, Mazhab Hanafi mendefinisan wakaf adalah: “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”.

Sementara Mazhab Maliki berpendapat, wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain. Wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya dan tidak boleh menarik kembali wakafnya. 

Perbuatan wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mauquf alaih (penerima manfaat wakaf), walaupun yang dimilikinya berbentuk upah atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafaz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. 

Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar, sedangkan benda itu tetap menjadi milik wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).

Syafi’i dan Ahmad bin Hambal berpendapat, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa pun terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. 

Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. 

Apabila wakif melarangnya, maka Qadli atau pemerintah berhak memaksanya, agar memberikannya kepada mauquf ’alaih. Karena itu, Mazhab Syafi’i mendefinisan wakaf adalah: tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah Swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).

Menurut mazhab lain, mengutip Wahbah Az-Zuhaili, Drs H Ahmad Djunaidi dkk menulis bahwa pandangannnya sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan, yaitu menjadi milik mauquf ’alaih (penerima manfaat wakaf), meskipun mauquf ’alaih tidak berhak melakukan suatu tidakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.*