Memulai Urusan Wakaf

  • Share this:
post-title

Oleh: Sayed M. Husen

Analis Wakaf BMA


Baitul Mal Aceh (BMA) dinilai “kikuk” memulai urusan wakaf di Aceh. Tentu bukan kikuk seperti manusia. Kikuk menurut KBBI: canggung, belum pandai, belum biasa. Penilaian pengamat ini ada benarnya, mengingat secara struktural baru awal tahun 2021 BMA mengubah struktur organisasi yang menyediakan jabatan Subbagian Wakaf dan Perwalian. Itu pun masih bercampur urusan wakaf dengan pengawasan perwalian. Eselonnya cukup rendah (IV/a). 


Secara historis, Pemerintah Aceh sejak 1973 sebenarnya telah mengurus wakaf sejak pembentukan Badan Penertiban Harta Agama (BPHA), yang kemudian dikenal dengan Badan Harta Agama (BHA). Salah satu prioritas BHA adalah perlindungan dan penertiban tanah wakaf. Jika dilihat dari sejarah ini, urusan wakaf bukan lagi hal baru dan tak akan terjadi “kekikukan” dalam pengelolaan seperti sekarang ini.


Kewenangan baru diperoleh Aceh di bidang filantropi setelah pengesahan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pasal 191 UUPA memberi kewenangan Aceh untuk mengurus zakat, harta wakaf dan harta agama lainnya melalui badan khusus: Baitul Mal. Masalahnya, sejak dibentuk tahun 2003, Baitul Mal baru memprioritaskan pengelolaan wakaf setelah badan keistimewaan Aceh ini berusia 18 tahun. Banyak alasan bisa dikemukakan, namun tak kita bahas disini.


Lalu, dari mana BMA mestinya memulai mengurus wakaf? Penulis dan mahasiswa S3 UII Malaysia, Fahmi M Nasir mengusulkan, bahwa untuk membangun aset wakaf secara masif dan mendatangkan hasil yang eksponensial, perlu beberapa hal antara lain: fatwa yang progresif; regulasi yang kuat; profesionalisme dalam tata kelola wakaf; menerapkan “the right formula” yang terdiri dari outcome yang tepat, inovasi pembiayaan yang tepat, keputusan investasi yang tepat, produk wakaf yang tepat, SDM yang tepat dan sinergi yang tepat. 


Dia menambahkan, beberapa hal harus dilakukan untuk memajukan sektor wakaf di Aceh, yaitu: sensus aset wakaf; blue print wakaf Aceh; proyek wakaf percontohan; kemitraan BMA/BMK/BMG, nazir wakaf dan BUMG; blended financing dengan dana infak, mengingat di Aceh ada infak wajib sesuai dengan pasal 106 Qanun Nomor 10/2018 tentang Baitul Mal; pembiayaan wakaf melalui dana APBA/APBK yang akan dijadikan sebagai dana abadi; dan pembiayaan wakaf melalui lembaga keuangan milik Pemerintah Aceh seperti Bank Aceh Syariah (BAS) dan BPR Mustaqim.


Dari segi regulasi, walaupun dianggap belum sinkron dengan UUPA Pasal 191, Baitul Mal memiliki landasan Qanun 10/2018. Qanun ini memang belum cukup lengkap mengatur tentang pengelolaan wakaf, namun dapat dijadikan dasar regulasi yang kuat. Untuk melengkapinya, BMA sedang mengajukan pengesahan Peraturan Gubernur tentang Pengelolaan Wakaf. Walaupun Fahmi M Nasir menyarankan perlunya fatwa wakaf yang progresif, namun bagi Aceh yang diperlukan adalah qanun wakaf yang progresif. 


Pendapat Fahmi M Nasir di atas cukup membatu BMA dalam memulai dan merumuskan urusan wakaf, yang mulai intensif sejak awal tahun ini. Pertama kali yang dilakukan oleh Subbag Wakaf dan Perwalian BMA adalah menyiapkan draf Ranpergub Pengelolaan Wakaf, dilanjutkan dengan pendataan dan pemetaan potensi wakaf yang dikelola oleh BMA dan nazir wakaf di Kabupaten Bireuen. Untuk program sertifikasi, BMA telah melakukan pendataan tanah wakaf yang belum tersertifikasi di seluruh Aceh.


Dari pendataan dan pemetaan potensi wakaf tahap awal tahun 2021, BMA merumuskan program sertifikasi tanah wakaf dan pengembangan wakaf produktif. Seperti saran Fahmi M Nasir, dana infak akan digunakan oleh BMA untuk mengembangkan wakaf produktif yang bermitra dengan nazir terpilih. Pengembangan wakaf dilakukan dalam bentuk pemberdayaan ekonomi dan investasi wakaf (pembangunan di atas tanah wakaf, supaya tanah wakaf berfungsi optimal).


Dalam hal ini, BMA sedang menyusun Rencana Strategis dan Juknis, sehingga pelaksanaannya lebih terukur dan transparan. Urusan wakaf terus berproses ke arah yang lebih baik dan maju, sambil tim wakaf BMA “belajar” dari mitra sukses seperti Kemenag, BWI, pakar dan peminat wakaf lainnya. Salah satu wadah pembelajaran itu adalah Pelatihan Nazir Secara Virtual yang berlangsung 8, 15 dan 29 Juli 2021, yang narasumbernya antara lain Fahmi M Nasir. 


BMA telah memulai mengurus wakaf lebih serius dan sungguh-sungguh, didukung oleh struktur organisasi dan ekosistem yang kondusif. Tentu saja hasilnya sangat ditentukan oleh komitmen pimpinan menjadikan wakaf sebagai arus utama setiap kebijakan. Komitmen itu paling tidak diperlukan dalam melengkapi regulasi (qanun wakaf atau merivisi qanun yang ada), perubahan SOTK (Jabatan Kasubbag Wakaf ditingkatkan setingkat Kabag) dan penyediaan anggaran pengelolaan wakaf yang rasional.*