Menggagas Wakaf sebagai Pengurang Pajak

  • Share this:
post-title

Oleh: Sayed Muhammad Husen

Walaupun perjuangan penerapan zakat sebagai pengurang pajak di Aceh belum membuahkan hasil, namun usaha menggagas wakaf sebagai pengurang pajak dapat terus dilanjutkan hingga mendapati momentumnya. Momentum dimaksud adalah perubahan UU Wakaf,  UU Pajak Penghasilan atau pengesahan qanun Aceh tentang wakaf. Terkait upaya ini yang penting ditanyakan adalah apakah umat Islam Indonesia dan Aceh menganggap masuk akal adanya regulasi wakaf sebagai pengurang pajak, atau masih perlu waktu lama meyakinkan anggota parlemen untuk memperjuangkannya.

Menurut Dr Mundzir Qahaf dalam bukunya Manajemen Wakaf Produktif (2000:336), ada tiga faktor di Barat yang mempunyai peran besar dalam memotivasi mengeluarkan harta untuk tujuan amal kebaikan dengan cara menahan pokoknya seperti pada praktik wakaf, demikian  juga melalui pemberian biasa dan dengan mengembangkan harta ini melalui yayasan sosial. Ketiga faktor penting tersebut: penghapusan pajak, kelenturan perangkat perundang-undangan dan kepengurusan pihak swasta, disertai pengawasan oleh masyarakat dan pemerintah.  

Jadi, dari segi kedermawanan dengan memberikan sumbangan kepada yayasan sosial, ia mendapat berbagai perlakuan istimewa dari pajak, termasuk penghapusan pajak pendapatan yang biasanya merupakan beban terbesar bagi setiap orang. Demikian juga dengan pajak kepemilikan, pajak modal dan pajak warisan. Ini benar-banar merupakan penghapusan pajak yang luar biasa dalam rangka meningkatkan kepekaan sosial dalam bermasyarakat, agar mereka menyisihkan sebagian pendapatan dan warisannya untuk tujuan amal kebaikan. 

“Penghapusan pajak ini bukan saja mendorong terbentuknya berbagai saluran amal kebaikan sosial, bahkan juga dapat menciptakan terbentuknya wakaf keluarga, dimana seseorang dapat mengambil manfaat dari dihapuskannya pajak untuk tujuan tersebut, sekalipun dalam pembentukan wakaf keluarga itu yang mengambil manfaatnya hanya terbatas pada wakif itu sendiri, keluarga dan keturunannya,” tulis Mundzir Qahaf. 

Menurut dia, penghapusan pajak juga menciptakan munculnya wakaf sementara, dimana kalangan profesi biasanya mewakafkan hartanya di saat mendapatkan banyak keuntungan dan mencabut kembali wakafnya ketika pendapatan mulai berkurang. Jadi semuanya dapat menikmati penghapusan pajak sesuai dengan kebutuhan dan hasil usahanya.

Pengaturan wakaf sebagai pengurang pajak, sama halnya zakat dan infak pengurang pajak di Aceh seharusnya terus bergulir dan disambut antusias kalangan akademisi, birokrasi, media dan politisi. Spiritnya adalah menggali sumber-sumber baru pembiayaan pemberdayaan ekonomi rakyat untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi, sebagai bentuk perluasan implementasi keistimewaan dan kekhususan Aceh. Salah satu solusi ketidak-adilan, ketimpangan ekonomi dan kemiskinan di Aceh adalah optimalisasi pendayagunan wakaf, zakat dan infak.

Bagaimana mewujudkan wakaf sebagai pengurang pajak di Aceh? Jika merujuk pada MoU Helsinki, seperti penuturan salah seorang juru runding M Nur Juli, yang tak boleh dilanggar dalam pembuatan regulasi di Aceh hanyalah UUD 1945. Artinya, eksekutif dan legislastif di Aceh dapat menggunakan kewenangannya membuat qanun Aceh yang melegalkan wakaf sebagai pengurang pajak, sebab tidak bertentangan dengan UUD 1945. Syukur-syukur jika regulasi ini menjadi inspirasi bagi umat Islam di tingkat nasional.

Karena itu, pendapat Mundzir Qahaf di atas pantas kita diskusikan untuk mendukung tumbuhnya wakaf baru yang bersifat produktif di seluruh Aceh, tidak terbatas hanya wakaf 3M (pembangunan masjid, meunasah/mushalla dan tanah makam). Dengan wakaf mengurangi pajak, wakif lebih termotivasi menyisihkan sebagian harta dan penghasilannya untuk wakaf jangka panjang atau berjangka waktu, wakaf harta tidak bergerak atau harta bergerak, termasuk wakaf uang yang telah dicanangkan menjadi Gerakan  Nasional Wakaf Uang. 

Langkah pertama dapat dilakukan yaitu melakukan kajian akademik tentang perlunya qanun Aceh tentang wakaf. Dari kajian ini melahirkan partisipasi akademisi, ulama, cendikiawan muslim dan pegiat filantropi, yang pada akhirnya terbangun suatu keyakinan (opini), bahwa wakaf adalah solusi keadilan, walaupun nantinya dana Otsus tak dilanjutkan lagi. Tugas negara kemudian tentu saja mewujudkan keadilan bagi wakif dengan cara mengurangi pajak terhadap wakaf yang diserahkannya kepada nazir.*

*Penulis adalah Analis Wakaf BMA