Polemik Wakaf Uang

  • Share this:
post-title

Oleh: Shafwan Bendadeh

Tenaga Profesional Subbag Wakaf dan Perwalian


Pada 25 Januari 2021 lalu, Presiden Joko Widodo meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang yang disingkat dengan GNWU. Gerakan ini merupakan wujud pengakuan negara atas instrumen filantropi Islam, yaitu wakaf salah satu program Pemerintah Indonesia untuk pengembangan ekonomi syariah yang mendukung percepatan pembangunan nasional. Hal ini pula yang menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian mendukung dan optimis bahwa wakaf uang dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Sebagian yang lain merasa pesimis dikhawatirkan akan terjadi penyelewengan dalam pengelolaannya.

 

Pada prinsipnya, wakaf uang dan wakaf lainnya adalah sama menurut fikih. Hanya saja dalam menjadi nazhir (pengelola wakaf), ada perbedaan antara wakaf uang dengan wakaf non-uang. Syarat nazhir dalam wakaf uang lebih ketat. Tidak boleh individual dan sembarangan. Jika nazhir wakaf selain uang boleh dari perseorangan, yayasan, ataupun ormas, maka nazhir wakaf uang harus lembaga wakaf formal berbadan hukum dan mempunyai keahlian dan reputasi yang baik dalam pengelolaan keuangan berdasarkan syariat.

 

Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan oleh orang perseorangan, kelompok orang, lembaga, atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.

 

Istilah wakaf uang atau wakaf tunai (cash waqf/waqf al-Nuqud) belum dikenal di zaman Rasulullah saw. Wakaf uang baru dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriah. Imam az-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka yang paling awal menfatwakan wakaf uang. Imam az-Zuhri menganjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Sejak itu, wakaf uang mulai popular di kalangan muslim (Abu Su’ud, Dar Ibn Hazm, 1997: 20-21).

 

Di Turki, pada awal abad ke-15 hijriah praktik wakaf uang telah menjadi istilah yang familiar di tengah masyarakat. Pihak yang berwenang di Ottoman telah menyetujui wakaf uang dan dipraktikkan hampir 300 tahun, dimulai dari tahun 1555-1823 masehi. Lebih dari 20 persen wakaf uang di kota Bursa, selatan Istanbul, telah bertahan lebih dari seratus tahun (Hendri Tanjung, 2014).

 

Sedangkan di Indonesia, sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf uang yang akhir-akhir ini telah diluncurkan oleh pemerintah melalui GNWU.

 

Fatwa MUI

Komisi Fatwa MUI melalui rapat yang dilaksanakan pada tanggal 26 April 2002 menetapkan bahwa: 1) Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. 2) Termasuk dalam uang adalah surat-surat berharga. 3) Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i. 4) Nilai pokok uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.

 

Ada beberapa pertimbangan yang digunakan oleh MUI dalam menghasilkan fatwa tersebut, di antaranya: 1) QS. Ali ‘Imran [3]: 92, tentang perintah agar manusia menyedekahkan sebagian harta yang dicintainya; 2) QS. al-Baqarah [2]: 261-262, tentang balasan yang berlipat ganda bagi orang yang menyedekahkan sebagian hartanya di jalan Allah dengan ikhlas dan pelakunya dijamin akan terbebas dari rasa takut dan khawatir; 3) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, al-Tirmidhi, al-Nasa’i, dan Abu Daud tentang perbuatan yang selalu mengalir pahalanya meskipun pelakunya telah meninggal dunia; 4) Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan lainnya tentang wakaf tanah yang dilakukan oleh ‘Umar ibn al-Khattab; dan 5) Pendapat sahabat Jabir yang menyatakan bahwa para sahabat Nabi mewakafkan sebagian harta yang dimilikinya.

 

Selain dalil-dalil tersebut, MUI juga mengutip beberapa pendapat ulama terdahulu (klasik) yang relevan dengan wakaf uang tersebut. Seperti pendapat dari Imam az-Zuhri yang mengatakan bahwa hukum mewakafkan dinar dan dirham adalah boleh. Demikian juga pendapat dari ulama dari kalangan Hanaf?ah yang membolehkan wakaf dengan menggunakan dinar dan dirham dengan pertimbangan adat kebiasaan yang berlaku umum (istihsan bi al-‘urf). Kemudian pendapat sebagian ulama dari kalangan Syafi’iyyah sebagaimana diceritakan oleh Abu Tsaur tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham.

 

Berdasarkan argumentasi-argumentasi yang telah disebutkan, akhirnya MUI mendefinisikan wakaf sebagai sebuah penahanan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa hilang benda atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (seperti menjual, menghibahkan, atau mewariskan), untuk digunakan hasilnya pada sesuatu yang dibolehkan.

 

Hukum Positif

Dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia, wakaf uang adalah wakaf berupa harta benda bergerak (UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 16 ayat 3) dengan mata uang rupiah (PP No. 42 tahun 2006 tentang wakaf pasal 22 ayat 1) melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk pemerintah (UU wakaf pasal 28) yang mengeluarkan sertifikat uang.

 

Pengelolaan dan pengembangan harta wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan atau instrumen keuangan syariah (PP wakaf pasal 8 ayat 2) yang mendapat jaminan keutuhannya oleh Lembaga Penjamin Simpanan (PP wakaf pasal 8 ayat 4) atau Lembaga Asuransi Syariah (PP wakaf pasal 8 ayat 5).

 

Selanjutnya, hasil pengelolaan dan pengembangan aset wakaf digunakan sebagian besar untuk penerima manfaat (mauquf alaih), dan sisanya untuk reinvestasi aset wakaf dan imbalan nazhir (10%). Reinvestasi aset wakaf akan memunculkan aset baru, di mana sebagian sudah diwakafkan melalui akta ikrar wakaf dan sebagiannya lagi belum diwakafkan. Perlu digarisbawahi bahwa seluruh aset baru tersebut diakui sebagai aset wakaf.

 

Maka dari pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa wakaf tunai atau wakaf uang tidak menjadi halangan untuk dipraktikkan, asalkan dijalankan sesuai dengan ketentuan dan kaidah yang berlaku. Dana wakaf yang ada menjadi tanggung jawab nazhir untuk diproduktifkan. Nazhir harus mampu mentasarufkan dana wakaf tersebut sesuai dengan akta ikrar wakaf dan peruntukannya. Melalui gerakan wakaf uang, siapa pun boleh berwakaf walaupun dengan uang seribu rupiah disertai pahala yang akan terus mengalir kepada yang memberi wakaf uang. Uang wakaf akan masuk ke nazhir dan tidak akan masuk ke kas negara, karena dana wakaf menjadi tanggung jawab pengelola, yaitu nazhir wakaf uang. Wallahu a’lam bishawab.

*Tulisan ini sudah dipublikasikan di Harian Serambi Indonesia, 26 Maret 2021