Lambarih, Desa Produktif Binaan Pemerintah Aceh

  • Share this:
post-title

Suara mesin pompa air merek General WP 20 tak henti menderu-deru. Sebuah kolam ikan ukuran 4 x 12 meter yang dibagi menjadi tiga bagian itu hampir kering diisap pompa air. Beberapa pengelola kolam dan warga tampak tak sabar ingin mengangkat ikan air tawar jenis nila ke darat. Anak-anak riuh menunjuk-nunjuk ikan yang berusaha beringsut dalam kolam yang hendak kering airnya itu. Kolam tersebut terletak di pinggir sawah yang baru saja selesai dipanen di Gampong Lambarih Juroeng Raya, Sukamakmur, Aceh Besar.

Lambarih Jurong Raya merupakan salah satu gampong produktif binaan Pemerintah Aceh melalui Baitul Mal Aceh sejak tahun 2018. Gampong ini memiliki potensi selain di bidang pertanian juga berpotensi budi daya ikan air tawar karena memiliki aliran air yang cukup.

Saya bersama beberapa teman dari Baitul Mal Aceh, yaitu Kepala Bidang Sosialisasi dan Pengembangan, Rizky Aulia; Kepala Bidang Pengumpulan, Putra Misbah; dan Staf Bagian Umum, Ibnu Sakdan mendatangi Lambarih saat panen berlangsung. Di sana kami berjumpa dengan perangkat desa seperti Plt Keuchik, Burhan; Ketua Baitul Mal Gampong, Irfan Siddiq; dan beberapa pengelola kolam ikan tersebut.Menurut Irfan, ini merupakan panen perdana setelah mendapatkan bantuan dari Baitul Mal Aceh tahun 2018 sebesar Rp 50 juta. Dana tersebut digunakan untuk beberapa kebutuhan, seperti pembuatan kolam dari batu gunung, jaring untuk penutup kolam, bibit ikan nila, dan keperluan kecil lainnya.

Ia menyebutkan bahwa bibit ikan nila yang dibudidayakan perdana di kolam itu sekitar 6.700 bibit. Usai dimasukkan ke kolam, tiga bulan setelah itu baru bisa dipanen. Tepat pada Minggu (14/7/2019) merupakan hari yang membahagiakan bagi semua karena dapat memanen perdana hasil keringat mereka.

“Dari tiga kolam, per kolam menghasilkan 400-500 kilogram ikan nila. Per kilo kami jual sekitar 0.000-25.000 rupiah,” ungkap Irfan di lokasi pemanenan.

Mengingat itu panen perdana, di dekat kolam sudah didirikan teratak untuk masak dan makan bersama masyarakat setempat. Yang dimakan bersama saat itu hanyalah sebagian kecil dari jumlah ikan yang akan dijual.

“Hasil penjualannya setelah kita ambil untuk modal bibit dan pengelola, juga akan kita bagikan kepada fakir miskin yang ada di gampong ini,” kata Irfan.

Biarpun telah membuahkan hasil dari budi daya tersebut, Irfan bersama anggotanya masih memiliki keinginan yang lebih besar, yaitu ingin memiliki mesin pengolah pakan ikan. Menurutnya, untuk bahan mentah pakan ikan banyak di Aceh yang bisa diolah, hanya saja tidak memiliki alat yang memadai karena harganya lumayan mahal.

Ia berharap jika hasilnya bisa surplus nantinya atau pemerintah ingin membantu akan membeli mesin tersebut, pakan ikan tak perlu lagi dibeli dari Medan. Ia bercita-cita tidak ada lagi orang miskin di gampong tersebut melalui pemberdayaan budi daya ikan nila.

Gampong Produktif
Sejak tiga tahun terakhir, Baitul Mal telah menggelontorkan dana Rp 1,6 miliar khusus untuk program grampong (desa) produktif. Dana tersebut diberikan melalui Baitul Mal Gampong.

Program ini dibuat untuk menciptakan kemandirian masyarakat miskin yang ada di gampong-gampong. Pembentukan gampong produktif ini sebagai implementasi dari Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2007 yang ditujukan untuk menjadikan suntikan bagi gampong dalam mengembangkan Baitul Mal di gampong tersebut. Selain meningkatkan kemandirian gampong, juga untuk pengurangan dan menekan angka kemiskinan.

Pada tahun 2016, Baitul Mal Aceh memberikan kepada 20 gampong yang dinilai memiliki potensi ekonomi untuk dikembangkan. Masing-masing gampong menerima bantuan sebesar Rp 30 juta.


Selanjutnya pada tahun 2017 dan 2018 ditingkatkan lagi menjadi 20 gampong. Selain menambah jumlah gampong, ada juga yang ditambah modal usahanya karena gampong tersebut dianggap sukses memberdayakan masyarakat dan juga gampong baru pascaverifikasi tim Baitul Mal Aceh.

Sektor yang sudah pernah dibantu melalui program ini dari berbagai sektor, seperti pertanian, perikanan, dan peternakan. Untuk sektor pertanian ada budi daya jahe merah di Gampong Lam U dan nilam di gampong Data Makmur, Kecamatan Blang Bintang, Aceh Besar.

Untuk sektor peternakan, Baitul Mal Aceh juga memberikan bantuan kepada Gampong Bueng, Jantho, untuk peternakan lebah, ternak sapi dan kambing untuk wilayah Lhoknga, dan budi daya ayam petelur di Gampong Krueng Lamkareung, Montasik, Aceh Besar. Sedangkan untuk sektor perikanan, yaitu budi daya ikan nila, dilaksanakan di Gampong Lambarih Juroeng Raya.

Aceh Troë & Kreatif
Pada tahun 2018 dan 2019 melalui program Aceh Troë, Baitul Mal Aceh yang digagas Irwandi-Nova meningkatkan anggaran untuk pemberdayaan gampong produktif tersebut. Dari sebelumnya hanya Rp30 juta per gampong menjadi Rp50 juta.

Acèh Troë sendiri memiliki cita-cita masyarakat Aceh lebih sejahtera di bidang ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi bagi seluruh rakyat Aceh secara mandiri. Salah satu poin dari program Acèh Troë ini adalah membangun kemandirian pangan melalui penurunan ketergantungan terhadap provinsi tetangga (Sumatera Utara) dan peningkatan kapasitas tenaga penyuluh pertanian dan perikanan.

Selain Acèh Troë, program gampong produktif ini juga sesuai dengan visi-misi Irwandi-Nova lainnya, yaitu program Aceh Kreatif. Pemerintah Aceh ingin menumbuhkan industri sesuai dengan potensi sumber daya daerah dan memproteksi produk yang dihasilkannya seperti penyediaan sentra produksi yang berbasis potensi sumber daya lokal dan berorientasi pada pasar lokal. Selain itu, berupaya melindungi produk-produk yang dihasilkan oleh industri lokal agar dapat bersaing dengan produk dari luar Aceh, dan merangsang lahirnya industri-industri kreatif yang potensial, terutama di sektor jasa.

Cita-cita Aceh Hebat
Berdasarkan informasi lama resmi Pemerintah Aceh, humas.acehprov.go.id menyebutkan, melalui program Aceh Hebat, sejak dua tahun terakhir, Pemerintahan Aceh telah meraih berbagai capaian di berbagai sektor, antara lain, pertumbuhan ekonomi naik dari 4,19% menjadi 4,61% demikian halnya Indeks pembangunan manusia juga meningkat dari 70,00 menjadi 71,19.

Keberhasilan Pemerintah Aceh juga ditandai dengan turunnya angka pengangguran dari 6,57% menjadi 6,35%, kemiskinan turun dari 15,92% menjadi 15,68%, kesenjangan pendapat turun dari 0,329 menjadi 0,318. Memang, angka-angka tersebut bukanlah angka maksimal. Namun, perlu dicatat semua itu terjadi di tengah beberapa kemelut yang menimpa Pemerintah Aceh. Mulai dari tarik ulur pengesahan APBA 2018 hingga ditahannya Gubernur Irwandi Yusuf oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Oleh sebab itu, sejak dilantik sebagai pelaksana tugas Gubernur Aceh pada 9 Juli 2018, Nova Iriansyah terus melanjutkan perencanaan pembangunan yang sudah digaungkan kepada masyarakat lewat Aceh Hebat. Selain perencanaan pembangunan yang bermutu, Nova selalu meyakinkan seluruh pihak agar mewujudkan pembangunan yang tepat waktu.

Selain itu, komunikasinya dengan legislatif termasuk lancar. Hal ini terbukti dari ditetapkannya APBA 2019 sebelum tahun anggaran. Nova membuktikan, sesuatu yang dulu kerap dianggap mustahil, ternyata mampu berjalan dengan mulus. Hal itu disebabkan karena Nova sukses mengajak seluruh elemen berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Tak hanya birokrat, teknorat, dan para pengusaha kini bergerak bersama membangun Aceh.

ebagai pemerintah yang ingin terus membenah, kepemimpinan Irwandi-Nova masih memiliki waktu yang panjang, yaitu tiga tahun lagi untuk mewujudkan Aceh yang lebih mandiri dari segala sektor. Apa yang belum dicapai dalam dua tahun terakhir menjadi bahan evaluasi untuk menuntaskan semua janji-janji politik terhadap masyarakat Aceh yang menginginkan kesejahteraan.

Diharapkan sisa kepemimpinan mereka memberikan kesan dan kenangan baik bagi masyarakat Aceh, khususnya bagi kaum duafa yang ingin mengubah nasib mereka. Semoga!