Baitul Mal se-Aceh Optimalkan Zakat untuk Program Responsif Anak

  • Share this:
post-title

Banda Aceh- Angka kekerasan terhadap anak di Aceh pada tahun 2020 mencapai 485 kasus. Jumlah ini belum termasuk tindak kekerasan yang tidak terdata atau tidak dilaporkan. Dari kasus tersebut, bentuk kekerasan yang paling sering dialami anak adalah pelecehan seksual dan kekerasan psikis. Demikian fakta yang dipaparkan Kabid Pemenuhan Hak Anak (PHA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Amrina Habibi SH, pada kegiatan Pelatihan Perencanaan, Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan (PMEP) Program Responsif Anak untuk Baitul Mal se-Aceh, Kamis (04/11/21) di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh.

 

Disebutkan Amrina, perlindungan dan pemenuhan hak anak di Aceh adalah tanggung jawab kolektif.

Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak secara eksplisit menyebutkan Baitul Mal Aceh (BMA) sebagai salah satu lembaga kekhususan Aceh yang ikut mengampu tanggung jawab ini.

 

“Pasal 50 Qanun 9 Tahun 2019 secara spesifik menyebut, sekurang-kurangnya tugas dan tanggung jawab BMA adalah menetapkan kebijakan dan mekanisme pemberian bantuan untuk perempuan dan anak penyintas kekerasan, sesuai minat dan kebutuhan penyintas,” jelas Amrina.

 

Terkait hal ini, Ketua Badan BMA Prof. Nazaruddin A Wahid di sela-sela pelatihan menyebutkan, BMA sudah merealisasikan sejumlah program yang ditujukan untuk membantu kebutuhan anak penyintas kekerasan di Aceh.

 

“Untuk Tahun 2021 misalnya, BMA berjejaring dengan DP3A, Baitul Mal kabupaten/kota dan berbagai LSM atau pegiat komunitas di Aceh untuk mendata dan memverifikasi perempuan dan anak penyintas kekerasan. Karena dana kita berasal dari zakat, penyintas yang kita bantu wajib memenuhi salah satu asnaf penerima zakat, yaitu berasal dari keluarga miskin,” sebut Prof. Nazar

 

Ia merinci, zakat yang disalurkan BMA khusus untuk anak penyintas kekerasan melalui Program Bantuan untuk Anak dan Perempuan dari Keluarga Miskin Korban KDRT dan Kekerasan Lainnya hingga bulan Oktober tahun 2021 mencapai Rp 543juta.

 

“Alhamdulillah, hingga saat ini, kita sudah membantu 102 anak. Domisilinya tersebar di berbagai kabupaten kota di Aceh. Bantuan yang diperoleh masing-masing anak berupa uang tunai. Jumlahnya bervariasi antara Rp 3juta hingga Rp 8juta per anak, sesuai kondisi anak. Jumlah ini akan bertambah, karena saat ini amil BMA juga sedang di lapangan untuk memverifikasi penyintas anak calon penerima bantuan berikutnya,” jelas Prof. Nazar.

 

Sementara itu, Founder Yayasan Aceh Hijau selaku pelaksana sekaligus fasilitator pelatihan, Ibnu Munzir dalam sambutannya  mengatakan, persoalan anak di Aceh masih multidimesi. Selain kasus kekerasan dan penelantaran, anak-anak dari keluarga miskin juga berhadapan dengan masalah kesehatan.

 

“Berdasarkan data Riskedas 2018, kasus stunting dan gizi buruk di Aceh masih berada di atas angka nasional. Angka stunting atau balita pendek di Aceh mencapai  37 persen, sedangkan angka nasional 30 persen. Angka ini masih berada di bawah rekomendasi WHO yaitu 20 persen. Jika tidak segera diintervensi, Aceh akan mengalami krisis SDM yang cukup parah di masa depan,“ sebutnya.

 

Untuk merespon persoalan tersebut, tambah Ibnu Munzir, BMA telah bermitra dengan Yayasan Aceh Hijau dan Unicef untuk merealisasikan sejumlah program responsif anak yang berkontribusi untuk menekan angka stunting.

 

“Program tersebut antara lain penyediaan sanitasi layak dan pemberian bantuan rutin untuk ibu hamil dan balita dengan gizi buruk. BMA menyediakan dana zakat untuk mewujudkan program tersebut, sementara Yayasan Aceh Hijau memberikan pendampingan berupa kajian akademis, penyusunan Juknis dan peningkatan kapasitas amil,“ jelasnya.

 

Terkait optimalisasi zakat untuk penanggulangan stunting, Anggota Badan BMA Dr. Abdul Rani Usman menyampaikan, hingga Oktober 2021, BMA telah menyalurkan bantuan kepada 50 ibu dan baduta (anak usia di bawah dua tahun) dari keluarga miskin di Aceh Jaya dan Aceh Besar. Bantuan yang diberikan berupa biaya bulanan senilai Rp500rb/keluarga. Total serapan zakat untuk program ini mencapai Rp 300juta.

 

“Selain itu, pada tahun 2021, BMA juga menyediakan fasilitas sanitasi layak berupa 200 unit jamban sehat di empat kabupaten kota, yaitu di Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Simeulu, dan Gayo Lues. Total serapan anggaran zakat untuk program ini mencapai Rp 1,5miliar,” rinci Abdul Rani.

 

Peningkatan Kapasitas Amil

Untuk mempersiapkan SDM amil dan menjaga efektifitas program dalam merespon isu dan kebutuhan anak, Baitul Mal Aceh bermitra dengan Yayasan Aceh Hijau dan Unicef Indonesia mengadakan Pelatihan Perencanaan, Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan (PMEP) Program Responsif Anak untuk Baitul Mal se-Aceh. Pelatihan berlangsung selama 3 hari, tanggal 2-4 November 2021 di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh.

 

Selain dari Baitul Mal Aceh, pelatihan juga diikuti oleh perwakilan dari 23 Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK) se-Aceh. Kedepan diharapkan, zakat di seluruh BMK juga dapat dioptimalkan untuk mendukung program perlindungan dan pemenuhan hak anak.

 

Materi yang didapatkan selama pelatihan mencakup Pengantar Manajemen Program, Konsep dan Pendekatan Program, Teknis Penganggaran, Aspek Perencanaan, Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi hingga Pelaporan Program. Pemateri berasal dari Yayasan Aceh Hijau, Unicef Indonesia, DP3A, dan unsur BMA.

 

Setelah mengikuti pelatihan, amil diharapkan mampu menyusun dan melaksanakan program yang relevan, efektif, efisien, dan berdampak bagi para mustahik zakat di wilayah kerjanya. rizarahmi