Tak Dicatat, Harta Wakaf Terancam Disalahgunakan

  • Share this:
post-title

Banda Aceh – Salah satu harta agama yang masih sangat kurang mendapatkan perhatian adalah wakaf.  Saat ini banyak harta wakaf yang belum di inventarisir dengan baik, belum lagi banyak tanah-tanah wakaf yang belum sertifikasi serta permasalahan lain terkait dengan regulasi.

Jika kondisi ini terus dibiarkan maka sangat dikhawatirkan 10-20 yang akan datang akan semakin banyak harta wakaf yang disalahgunakan, beralih fungsi bahkan menjadi hak milik.

Hal demikian diungkapkan Kepala sub bagian hukum dan kerukunan umat beragama kantor wilayah kementrian agama provinsi Aceh Juniazi Yahya pada diskusi dan publikasi wakaf dengan thema optimalisasi wakaf fi Aceh sebagai sumber ekonomi umat, yang digelar atas kerjasama Gema Baiturrahman dengan Baitul Mal Aceh.

Menurut data di Kementerian Agama, tanah wakaf pada 23 kabupaten/kota di Aceh berjumlah 21.862 lokasi dengan luas 183,14 juta meter persegi. Namun dari jumlah tersebut yang sudah memiliki sertifikat baru 12.649 lokasi. Status tanah wakaf tersebut terdaftar di Badan Pertanahan Nasional sebanyak 4.996 persil dan 1.463 persil telah memiliki akta ikrar wakaf/akta pengganti akta ikrar wakaf (AIW/AP AIW). Di samping itu masih banyak tanah wakaf yang belum terdata atau diwakafkan dengan lisan saja.

“Banyak harta agama yang tidak tercatat dengan baik, tidak ada hitam diatas putih bahwa itu tanah wakaf sehingga sangat rawan untuk disalahgunakan”ujar Juniazi.

Juniazi menyebutkan ada beberapa permasalahan terkait wakaf di Aceh, paham keagamaan dalam pengelolaan wakaf, seperti pemahaman wakaf adalah milik Allah semata, tidak boleh diganggugugat/diubah, sehingga wakaf tidak boleh diproduktifkan, “Padahal salahsatu fungsi dari harta agama adalah sebagai sumber ekonomi umat, salahsatunya dengan menjadikan wakaf itu sebagai wakaf produktif sebagaimana halnya zakat produktif, tapi realitanya banyak tanah wakaf yang dibiarkan kosong saja tanpa ada pemanfaatan”katanya.

Kemudian masih kurangnya sosialisasi tentang paradigma baru untuk pengembangan wakaf secara produktif, pemberdayaan wakaf untuk pemberdayaan umat masih butuh waktu, selanjutnya yang tak kalah penting adalah nazhir belum profesional sehingga wakaf belum dapat dikelola secara optimal.

Permasalahan lainnya adalah belum berjalannya sanksi hukum terhadap penyimpangan wakaf, sehingga tak jarang wakaf disalhgunakan penyerobotan, diperjualbelikan, dialihkan, pengalihan hak dan sebagainya, “ Dan yang jauh lebih penting lagi adalah peran pemerintah, lemahnya kemitraan dan kerjasama antara stakeholder wakaf, ini antara kementrian agama dan Baitul Mal perlu koordinasi karena kedua lembaga ini setidaknya juga mengurusi yang berkaitan dengan wakaf”lanjutnya.

Juniazi berkesimpulan kedepan regulasi terkait wakaf harus diperkuat, kemudian  sertifikasi, inventarisasi dan harta benda wakaf harus dipercepat serta kualitas nazhir dan lembaga wakaf harus ditingkatkan.

“Perlu juga pemahaman kepada muwakif bahwa harta benda yang telah mereka serahkan untuk diwakafkan itu sudah putus hubungan dengan mereka, sehingga tidak ada lagi pewakaf yang kemudian meminta kembali harta wakafnya, atau mengatur-ngatur penggunaan wakafnya, ini banyak terjadi ketika harta wakaf misalnya dikatakan hanya untuk dibangun masjid saja, namun pengelola juga membangun bangunan lain, datang pewakaf menggugat bahkan meminta balik, terkadang ini dilakukan oleh ahli waris muwakif”paparnya.

Oleh sebab itu pengelolaan harta wakaf yang lebih profesional perlu segera dilakukan, sehingga harta wakaf yang banyak di Aceh ini bisa memberikan konstribusi bagi peningkatan kualitas umat, “Pengelolaan wakaf selama ini masih sangat tradisional sebatas untuk keperluan sarana ibadah dan sosial keagamaan, sehingga walaupun harta wakaf tersebar dimana-mana, faktanya belum berkonstribusi bagi kesejahtraan umat”pungkasnya.

Tulisan ini sudah pernah dimuat di Majalah Suara Darussalam Edisi 6

Tags: