Catatan Reflektif (1): Mana Bagian Mustahik?

  • Share this:
post-title

Oleh: Riza Rahmi

Pada suatu minggu di tahun ketiga bekerja sebagai amil, circa 2013, saya bersama dua kolega berkesempatan menjadi verifikator penerima manfaat untuk program ‘Pembangunan 1000 Rumah Layak Huni’ dana infak Baitul Mal Aceh. Kami bertanggung jawab menilai kelayakan penerima manfaat di tiga kabupaten/kota di wilayah pantai barat selatan. Tugas verifikator antara lain: melakukan wawancara langsung, mencatat kondisi faktual, mengkonfirmasi keabsahan dokumen, lalu memberi rekomendasi tingkat kelayakan.

Sebagian besar jejak perjalanan tugas tersebut hilang dari ingatan, kecuali tiga: (1) keributan di salah satu lokasi di Aceh Selatan. Keluarga calon penerima manfaat bersikeras harus diluluskan, padahal kondisi hunian mereka jauh lebih bagus dari rumah layak huni versi Baitul Mal Aceh, (2) penolakan verifikasi dari seorang Ibu di perbatasan Abdya-Aceh Selatan. Ia meragukan kami karena kapok ditipu calo rumah dhuafa entah dari mana. Ia menduga, kami datang untuk motif yang sama: mengiming-imingi rumah, minta ongkos negosiasi bernilai jutaan rupiah, setelah itu raib bagai ditelan tanah, dan (3) air mata haru seorang Bapak yang menyambut kedatangan kami di depan sebuah rumah panggung. Namanya, pekerjaannya, usianya, alamat persisnya, saya lupa semuanya. Tapi, bahasa tubuh dan pertanyaan yang tanpa sadar ia tancapkan dalam kepala saya masih terang hingga kini.

Rumah panggung itu berwarna kuning pucat. Lahan tempatnya berdiri lumayan luas, dipagari potongan bambu dan kayu. Dari arah pagar, letak rumah itu ada di sebelah kanan, menghadap ke sungai (atau irigasi tepatnya?). Ketika kami tiba, beberapa bocah laki-laki sedang bermain air; sebagian berenang, sisanya menonton yang sedang berenang.  

Bapak yang kami cari tak ada di rumah. Kata istrinya sedang ke sungai. Fasilitas sanitasi di rumah itu belum memadai. Penghuni rumah masih mengandalkan sungai untuk mandi, buang air, dan menyuci. Salah satu bocah kemudian diutus untuk memanggil sang Bapak pulang.  

Delapan tahun tentu lebih dari cukup untuk menimbun sebagian besar memori lama dengan memori baru di dalam ruang kepala. Karena itu, seperti yang saya sebut sebelumnya, banyak detil tentang Bapak ini -juga keluarganya- yang tak berani saya tulis sebab bisa saja telah bercampur dengan duga-duga. Maka, cerita saya tentangnya cukup berlanjut dan berakhir begini:

Sekembali dari sungai, dia menyongsong kami dengan langkah cepat. Disalaminya kami satu persatu dengan antusias. Saya yakin, kolega saya telah memberitahu bahwa kami datang untuk proses verifikasi. Artinya, kesempatan beliau untuk dapat rumah masih 50:50 atau belum pasti jadi. Bapak itu menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tapi kemudian, wallahua’lam, entah bagaimana narasi internalnya memproses informasi yang kami sampaikan, beliau mengucapkan rasa terima kasih yang dalam, membagi cerita tentang bagaimana telah sekian lama ia bermimpi memiliki rumah sendiri -ketika itu, cukup lama sudah ia beserta istri dan anaknya menumpang di rumah saudaranya-, lalu ia menangis. Ya, air mengalir dari matanya.

Teman saya, Maria, suatu kali berpendapat, “menangis harusnya bukan perkara asing bagi laki-laki. Biasa saja. Jika laki-laki tak boleh menangis, kenapa Tuhan memberinya air mata sama seperti perempuan?” Mungkin Maria ada benarnya. Tapi, sedikit pemahaman yang saya miliki tentang dunia laki-laki di tengah kultur patriarki yang terbilang kental ini, menangis bagi seorang laki-laki bukanlah perkara remeh. Apalagi bagi seorang suami, seorang ayah, seorang kepala keluarga yang dituntut menjadi pribadi yang kuat, di depan tamu asing, tanpa arahan sutradara atau sorotan kamera. Hati saya bilang, ekspresi emosi beliau memberi sinyal bahwa kedatangan kami beserta kabar yang kami bawa merupakan hal besar. Kami baginya, barangkali, serupa malaikat dalam kisah Nabi Zakaria: diutus Tuhan untuk menyampaikan bahwa do’a yang ia panjatkan selama bertahun-tahun akhirnya terjawab juga. 

Saat masih di lapangan, peristiwa itu tidak begitu menyita perhatian saya. Mungkin karena waktu kami terbatas, sementara list penerima manfaat dan lokasi yang wajib kami kunjungi masih sangat panjang. Berangkat pagi-pagi, kembali larut malam, tiba di penginapan langsung tertidur. Tak ada lagi energi untuk mencatat atau menemukan makna. Peristiwa itu baru istimewa setelah pulang, kembali nyaman di kosan. 

Di luar pengetahuannya, Bapak itu telah menanamkan beberapa pertanyaan dalam benak saya: Seberapa pantas saya mendapatkan ucapan terima kasih paling tulus dari beliau? Apa yang benar-benar saya lakukan murni untuknya? 

Menjadi amil adalah pilihan profesi yang ketika itu saya ambil karena butuh uang untuk hidup. Sebagai amil negara, saya mendapat gaji tetap dari sumber APBA setiap bulan. Kunjungan ke lapangan adalah bagian dari tugas. Artinya, saya juga dibayar. Uangnya lebih dari cukup untuk tidur di dipan penginapan yang mungkin lebih nyaman dari tikar palembang yang keluarganya pakai, juga untuk berwisata kuliner mencicipi makanan yang boleh jadi lebih mewah dari apa yang anak-anaknya makan. Pun tahun itu, manajemen pembiayaan perjalanan dinas belum sebaik sekarang. Sehingga, pulang dari dinas, alhamdulillah, masih ada sisa untuk nabung atau foya-foya. Lantas, mana bagian dari diri saya yang benar-benar untuknya? Bukan untuk biaya hidup, tidak untuk sekedar mencentang list tugas?

…Bersambung ke bagian (2)


*Penulis adalah Tenaga Profesional di Sekretariat BMA