Intervensi BMA untuk Wakaf

  • Share this:
post-title

Oleh Arif Arham
(Amil Baitul Mal Aceh)

Wakaf menjadi topik yang semakin sering dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir. Pembicaraannya berfokus pada pendayagunaan harta wakaf untuk tujuan produktif, seperti investasi dalam bisnis, pertanian, properti, atau sektor lain yang dapat menghasilkan pendapatan dan manfaat ekonomi. Baitul Mal Aceh (BMA) mulai menjajaki pemberdayaan wakaf ini sejak 2021 dengan harapan aset wakaf yang ada di masyarakat dapat berkontribusi secara efektif dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, pemberdayaan wakaf tidaklah mudah dan membutuhkan strategi dan kebijakan yang tepat serta terencana dengan baik.

Pembelajaran dari Negara Lain

Sebelum membahas lebih lanjut tentang intervensi BMA pada wakaf produktif, perlu dilihat apa yang dilakukan kaum muslimin di negara lain dalam pengelolaan wakaf. Dari segi kelembagaan kita dapat mencontoh beberapa negara yang telah maju pengelolaannya. Di Singapura, Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) memiliki Departemen Wakaf yang bertanggung jawab untuk mengelola dan mengawasi wakaf di negara tersebut. Sedangkan di Mesir, lembaga yang mengurus wakaf adalah Al-Maslahah al-Waqfiyyah al-'Umumah (Lembaga Wakaf Umum) yang berada di bawah Kementerian Wakaf dan Urusan Agama. Sementara di Arab Saudi, Saudi Arabian National Awqaf Foundation (Lembaga Wakaf Kerajaan) bertanggung jawab atas pengelolaan wakaf di negara tersebut. Jadi, dapat dilihat bahwa jika wakaf hendak dijadikan sebagai salah satu instrumen produktifitas masyarakat, maka perlu ada lembaga yang merencanakan, membina, dan mengawasi aktivitas wakaf.

Melalui pemberdayaan wakaf yang cerdas dan strategis, kaum muslimin di berbagai negara telah mendayagunakan aset wakaf yang ada sesuai potensinya dengan menyiapkan lembaga yang mapan, membangun infrastruktur, mengadakan penelitian dan pengembangan (inovasi), meningkatkan kesejahteraan sosial, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mendukung usaha dan kewirausahaan (entrepreneurship), membina lembaga pendidikan, mendirikan dan mengoperasikan fasilitas kesehatan, serta pemeliharaan dan renovasi bangunan masjid. Masjid Al-Azhar di Kairo, yang didirikan pada abad ke-10, adalah contoh bagaimana wakaf telah menjadi akar peradaban melalui perkembangan pusat pendidikan Islam tertua dan terkemuka di dunia.

Tanpa mengecilkan pengelolaan wakaf yang telah dilakukan di Indonesia secara umum, dan Aceh secara khusus, pengalaman negara lain tetap dapat dijadikan teladan untuk lebih meningkatkan pemberdayaan wakaf di masa mendatang.

Strategi BMA untuk Wakaf Produktif

Sebagaimana telah disebut di awal, BMA telah memulai meningkatkan perannya dalam pengelolaan wakaf sejak 2021. Peran ini dibantu oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) Aceh sebagai pembina wakaf dan Kementerian Agama sebagai administrator negara untuk urusan wakaf. Dalam tugas dan fungsinya sebagai salah satu instansi yang mengurus wakaf di Aceh tersebut, BMA melakukan langkah-langkah intervensi yang cukup signifikan, baik internal maupun eksternal.

Intervensi Internal

Intervensi internal dilakukan BMA dengan melakukan pendataan aset wakaf yang tercatat di BMA. Dari data yang ada, dilakukan peninjauan lapangan untuk melihat secara nyata aset wakaf tersebut dan bertemu dengan nazir (pengelola) wakaf. Dari sana, dapat diketahui keberadaan sertifikasi tanah, dan potensi produktif yang dimiliki aset. Ini membantu BMA membuat rencana pengelolaan dan pendayagunaan aset wakaf di kemudian hari.

Selain terkait dengan aset wakaf, intervensi internal BMA juga menyentuh sumber daya manusia. BMA masih kekurangan tenaga yang memiliki kompetensi dan pengalaman untuk mengurus wakaf dan membina para nazir. Karena itu, pelatihan dan sertifikasi pegawai BMA perlu dilakukan secara rutin dan berkala untuk mendapatkan Certified Waqf Competent (CWC).

Intervensi internal yang penting lainnya adalah regulasi. Identifikasi awal terhadap regulasi yang terkait wakaf memberi kesimpulan bahwa ada beberapa hal yang perlu lebih rinci diatur sebagai turunan dari UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh dan Qanun Nomor 3/2021 tentang Perubahan atas Qanun No. 10/2018 tentang Baitul Mal.

Intervensi Eksternal

Yang lebih menantang sebenarnya adalah bagaimana mengatur korelasi dan menjaga harmonisasi dengan BWI, Kementerian Agama, dan para nazir. Salah-satu yang mungkin dilakukan adalah berbagi peran. Misalnya, BMA memberi bantuan finansial untuk pemberdayaan wakaf; BWI memberi pembinaan dan pengawasan; sedangkan Kementerian Agama membantu di bidang pencatatan Akta Ikrar Wakaf dan administrasi terkait lainnya, dan para nazir mengembangkan wakaf produktif pada aset yang dikelolanya.

Dari pembagian peran di atas, BMA dapat melakukan intervensi eksternal terkait wakaf produktif. Hal-hal yang dilakukan mencakup pendataan wakaf di masyarakat, bimbingan teknis nazir dengan melibatkan BWI dan Kementerian Agama, penilaian (assessment) aset wakaf, dan pemberian modal usaha untuk para nazir sebagai stimulus pemberdayaan wakaf produktif. Untuk melakukan intervensi eksternal ini, BMA dan stakeholder lain dapat mewujudkannya dalam beberapa fase.

Fase Membangunkan Pegiat Wakaf

Fase pertama adalah membangunkan pegiat atau pemangku kepentingan (stakeholder) wakaf dari tidurnya (awakening phase). Pada fase ini, semua pelaku yang terlibat dalam pemberdayaan wakaf dihimpun melalui rapat koordinasi secara berkala antar-lembaga/ antar-badan kenaziran, lokakarya (workshop), bimbingan teknis nazir, dan sertifikasi nazir.

Kesadaran pada tujuan dari ibadah wakaf, yaitu menghasilkan sebesar-besarnya manfaat untuk kehidupan, perlu ditumbuhkan untuk memaksimalkan pendayagunaan aset wakaf dalam jangka panjang, menghasilkan pendapatan berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Penting pula agar stakeholder berkomitmen untuk mengelola wakaf dengan hati-hati dan transparan sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip Islam.

Fase Pendayagunaan Aset Wakaf

Pada fase kedua, para nazir, yang minimal telah mendapat bimbingan teknis, sudah dapat diberi stimulus untuk mulai menghidupkan usaha pada aset wakaf (utilization phase). Di sinilah yang membedakan BMA dengan BWI dan Kementerian Agama. Dengan dana infak yang dikelolanya, BMA bisa berperan lebih nyata dalam mendayagunakan aset wakaf di masyarakat.

Stimulus wakaf perlu dilakukan untuk mendorong percepatan produktivitas aset wakaf yang tidur. Dengan begitu, wakaf mulai dapat berkontribusi bagi masyarakat sekitar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui kewirausahaan dan penyerapan tenaga kerja di berbagai bidang.

Dana stimulus wakaf dapat digunakan untuk pengembangan bisnis kecil dan menengah. Sebagai contoh, Nazir Gampong Dakuta, Muara Batu, Aceh Utara, membangun dapur pembakaran batu bata di atas tanah wakaf seluas 1.320 meter persegi dengan dana Rp 85 juta dari BMA.

Dari stimulus untuk Wakaf Dakuta, akan terjadi efek lanjutan (multiplier effect). Lapangan kerja baru bagi warga desa tercipta, baik untuk pekerjaan pembangunan dapur pembakaran maupun pekerja tetap pembuat bata. Selain itu, manfaat sosial juga ada. Keuntungan usaha produksi batu bata dibagikan kepada fakir miskin, operasional meunasah, dan beasiswa anak yatim di desa tersebut. Akan terjadi perputaran uang di berbagai sektor lain akibat aktifitas produksi batu bata ini.

Untuk sektor pertanian, para nazir dapat menggunakan stimulus wakaf untuk pembangunan infrastruktur pertanian, pembelian peralatan, dan pengembangan teknologi pertanian. Dengan begitu, diharapkan dapat membantu meningkatkan produksi pangan, menciptakan lapangan kerja di sektor pertanian, dan meningkatkan kesejahteraan petani.

Dana stimulus wakaf dapat juga dipakai nazir untuk investasi dalam properti komersial atau residensial. Misalnya, properti yang dibiayai oleh dana wakaf dapat disewakan atau dioperasikan untuk menghasilkan pendapatan yang kemudian digunakan untuk membiayai proyek kemanusiaan atau layanan sosial.

Wakaf produktif yang diinisiasi dari dana stimulus juga dapat digunakan untuk memberdayakan kelompok masyarakat tertentu melalui program pelatihan kewirausahaan, pemberian pinjaman mikro, atau pengembangan koperasi. Model pemanfaatan dana stimulus wakaf seperti ini juga membantu menciptakan kesempatan ekonomi dan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Fase Pengembangan Wakaf

Fase ketiga adalah pengembangan dan inovasi (expansion phase). Di tahap ini, BMA sudah bisa berinvestasi dengan dana infak untuk proyek-proyek skala menengah dan besar pada aset wakaf yang dikelola nazir bersertifikat.

Para nazir yang mulai mandiri dapat melakukan peningkatan skala usaha dan bahkan mencari wakaf baru. Wakaf uang (cash waqf) dapat menjadi salah satu bentuk pengembangan di kemudian hari. Dengan begitu, masyarakat akan lebih banyak terlibat sebagai wakif (pemberi wakaf) dan berkontribusi langsung bagi produktivitas aset wakaf di lingkungannya.

Fase Membangun Peradaban Wakaf

Fase terakhir adalah membangun peradaban (waqf civilization phase). Kelak, saat semua upaya pemberdayaan wakaf telah membuahkan hasil sebagaimana pengalaman Al-Azhar di Mesir, wakaf di Aceh akan mewarnai tamadun masyarakatnya. Wakaf tidak lagi hanya sekedar wacana diskusi, tetapi menyatu dalam aktivitas keseharian kaum muslimin.

Melalui intervensi yang tepat dan terencana dengan baik, BMA dapat mendayagunakan aset wakaf yang ada di masyarakat secara produktif sehingga dapat berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lokal secara berkelanjutan serta mengurangi ketimpangan sosial ekonomi. Aset wakaf yang telah aktif akan memberi efek domino bagi pembangunan masyarakat di masa mendatang. Alhasil, wakaf tidak hanya memberikan bantuan sementara tetapi juga memberikan dampak positif yang berkelanjutan bahkan membangun peradaban. Dengan demikian, peran BMA dalam memberdayakan wakaf sangat penting bagi kemajuan Aceh.*