Mencegah Mustahik Meminta-Minta

  • Share this:
post-title

Oleh: Abdul Rani Usman 
Anggota Badan BMA 

Islam melarang meminta-mita. Rasulullah mengajarkan umatnya untuk bekerja guna menafkahi hidupnya. Dasar dan prinsip Baitul Mal dalam memperhatikan kaum fakir dan miskin adalah menghindarkan mereka dari meminta-minta. Zakat yang ditunaikan melalui Baitul Mal dapat mengangkat harkat dan martabat manusia yang dianggap lemah dalam bidang ekonomi. 

Umat Islam dianjurkan untuk berusaha menghidupi dirinya guna menghindari dari kehinaan di dunia. Perintah berusaha disebutkan dalam Surat Al-Furqan 47: “Dan Dialah yang menjadikan malam untukmu (sebagai pakaian) dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha.” Berusaha merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam. 

Firman Allah menganjurkan waktu siang untuk berusaha menjadi dasar agar terhindar dari meminta-minta. Malam menjadikan manusia untuk beristirahat dan bersenang-senang sebagai manifestasi dari hasil kerja di waktu siang. Pagi dan siang  diwajibakan untuk bangun berusaha, bekerja demi menghidupi diri dan keluarganya. 

Diriwayatkan dari Mu’awwiyah dia berkata, “Rasulullah bersabda, janganlah kalian mendesak untuk meminta-minta. Demi Allah, tidaklah salah seorang dari kalian meminta sesuatu kepadaku lalu permintannya menyebabkan aku memberikan kepadanya, sedangkan aku tidak suka hal itu, (hal itu)  agar aku berikan kepadanya diberkahi.” (HR Muslim). Rasulullah melarang umatnya meminta-minta. Pekerjaan meminta-minta itu menghilangkan harkat dan martabat manusia. 

Hadis lain diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi bersabda, “Tidak henti-hentinya salah seorang di antara kalian meminta-minta hingga ia bertemu Allah dengan wajah tidak berdaging (HR Bukhari). Sifat meminta-minta sesungguhnya mendapat kehinaan di dunia, karena selain tidak diridhai oleh Rasulullah sekaligus menjadi sifat buruk yang dimiliki oleh manusia. Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar menyebutkan, orang yang meminta-minta padahal ia mampu bekerja, maka akan menjumpai Allah dengan wajah yang tidak berdaging. Wajah tidak berdaging bisa bermakna pucat, hina, atau takut akan ancaman. Ini menjadi makna simbolik terhadap larangan meminta-minta.

Dari Az-Zubair bin Al-‘Awwan bahwa Nabi bersabda, “Sesungguhnya salah seorang dari kalian mengambil talinya, lalu ia datang dengan (membawa) seikat kayu bakar di punggungnya, kemudian menjualnya, sehingga Allah tutupi dengan itu wajahnya (harga diri), lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang-orang, di mana mereka memberinya atau tidak.” (HR Al-Bukhari). Kemuliaan, bekerja menjadi penting bagi umat Islam. Jika umat Islam mau mengamalkan Firman Allah surat Al-Furqan ayat 47 dan Sabda Nabi tentang larangan meminta-minta, maka umat Islam akan mulia dan martabatnya terangkat, karena dapat menghindarkan diri dari kefakiran.

Menjaga Harga Diri 

Mengangkat harkat dan martabat manusia dari kehinaan meminta-minta menjadi salah satu misi Baitul Mal, diantara langkahnya adalah dengan  menginvestigasi kebutuhan ekonomi dan kondisi sosial mereka. Baitul Mal tempat menghimpun dana zakat, infak, wakaf, dan harta keagamaan lainnya, tujuannya untuk disalurkan demi kesejahteraan fakir miskin. 

Ajaran Islam yang melarang orang meminta-minta penting diperhatikan oleh umat Islam. Islam menanamkan pada setiap pribadi muslim untuk membenci meminta-minta, sebagai pendidikan akan ketinggian cita-cita dan percaya diri sendiri dan juga agar terangkat dari lumpur kehinaan. 

Rasul telah menjadikan hal itu bagian dasar yang berbaiat dengannya, para sahabat, dan mengkhususkan dengan menyebut sebagai rukun baiat yang utama (Qardawi, 2007: 889) Persoalam meminta-minta menjadi fenomena menarik di dalam masyarakat. Gejala sosial meminta-minta baik di pinggir jalan, mengamen atau menyanyi di sudut jalan dengan alat musik sekedarnya. Meminta-minta menjadi sifat sosial pribadi menjadi tradisi, sehingga kadang kala menggangu ketertiban masyarakat. 

Solusi dan menghindari kaum dhuafa meminta-minta dapat dijembatani dengan zakat. Zakat yang dikumpulkan oleh amil Baitul  Mal menjadi modal utama dalam pemberdayaan ekonomi  masyarakat. Baitul Mal sebagai lembaga keuangan yang di dalamnya ada amil yang mengumpulkan dan menyalurkan zakat sesuai dengan surat attaubah 60. Amil  bertanggung jawab merencanakan, mengumpulkan, dan menyalurkan zakat guna membantu kaum dhuafa. 

Untuk itu, amil Baitul Mal harus mempunyai keterampilan, merencanakan, memetakan, muzakki dan mustahik guna dapat mengumpulkan zakat sebanyak-banyaknya dan menyalurkan zakat tepat sasaran. Terkait dengan mustahik tidak meminta-minta sangat erat hubungannya dengan kemampuan amil memverifikasi data mustahik sesuai dengan kondisi lapangan. Kondisi kehidupan mustahik yang fenomenal pribadinya, sehingga amil harus mampu mendata sedemikian rupa mana mustahik yang sebenarnya fakir atau miskin.

Saya berpengalaman sebagai amil selama 2,5 tahun menjadi menarik ditelaah, sesuai kondisi zaman. Zaman digital menjadi tantangan bagi amil Baitul Mal, terutama di Aceh. Misalkan saja amil BMA mendapatkan data muzakki yang berubah tempat tinggal dan tingkat pemahaman terhadap zakat yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut secara regulasi disesuai dengan undang-undang yang berlaku secara nasional dan lokal. Fenomena ini, semakin hari semakin banyak muzakki menunaikan zakat melalui BMA.

Sedang kemampuan amil mendedeksi mustahik yang berbeda dan beragam sungguh sangat menarik dikaji. Artinya, mustahik BMA ada yang tinggal di pelosok daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Daerah terluar seperti Pulau Banyak dan Simeulu sangat sulit diverikasi, selain transportasinya terbatas, sekaligus suasananya rawan. Fenomena inilah menjadi tanggung jawab amil BMA, namun telah dilaksanakan juga oleh amil BMA. 

Contoh lain tugas amil memverifikasi muallaf di daerah tertinggal dan di perkotaan. Para muaallaf merupakan orang berpindah kepercayaan dari non Islam ke Islam. Muallaf menjadi fenomenal dalam kehidupannya. Ada dari muallaf yang harus hijrah ke kampungnya,  semenatara yang lainnya karena ia tidak dibenarkan tinggal bersama keluarga atau di kampungnya. Fenomena inilah dibutuhkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual amil dalam menyalurkan zakat kepada asnaf muallaf ini. Para muallaf umumnya tidak mau mengajukan proposal ke BMA atau lembaga amil, karena khawatir diketahui oleh orang tuanya atau komunitasnya. Artinya, mereka tidak meminta-minta, namun mempertaruhkan identitas dan martabat di mata keluarga dan komunitasnya. Fenomena inilah yang menjadi tanggung jawab amil BMA membantunya supaya tidak meminta-minta, maka tugas amil adalah menyalurkan dan mendayagunakan zakat yang tepat sasaran.

Terkait asnaf fakir-miskin di wilayah kerja amil BMA menarik juga dikaji sedemikian rupa. Fakir-miskin yang tinggal di daerah 3T umumnya mereka terbatas ekonomi, transportasi, dan komunikasi. Mereka tidak tahu bagaimana mendapatkan bantuan ke BMA. Mereka ada yang belum bisa mengetik dan tidak mempunyai rekening bank. Namun, mereka membutuh bantuan atau fasilitas pemberdayaan. Fenomena inilah yang harus dibantu administrasi oleh amil BMA. Baitul Mal menghidari masyarakat meminta-minta dengan kecerdasan emosional-spiritual amil. Wallahu a’lam.

Editor: Sayed M. Husen

Tags: