Regulasi Zakat Produktif

  • Share this:
post-title

Oleh: Hendra Saputra, SHI, M.Ag

Staf Baitul Mal Aceh


Zakat merupakan sejumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan setiap muslim yang disalurkan kepada golongan yang berhak menerimanya (Asnaf) sesuai ketentuan syariat. Sementara produktif berasal dari bahasa inggris “productive” yang berarti banyak menghasilkan, memberikan hasil, banyak menghasilkan barang-barang berharga yang mempunyai hasil baik. Dari penjelasan kata produktif ini, dapat diambil suatu penjelasan bahwa yang dimaksudkan dengan zakat produktif ialah zakat yang disalurkan kepada mustahiq zakat (asnaf) sehingga ia dapat memenuhi kehidupannya pada masa yang akan datang sehingga diharapkan dapat mengangkat perekonomiannya menjadi muzakki.


Menurut Hasbi Ash Ashiddieqi dalam bukunya yang berjudul Pedoman Zakat, zakat merupakan manifestasi dari kegotong royongan bagi harta antara hartawan dengan fakir miskin. Zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental. Dengan demikian, dalam memahami zakat hendaknya tidak terfokus kepada permasalahan hukum semata, melainkan diupayakan agar dengan zakat tersebut dapat mengangkat perekonomian masyarakat lemah. Masyarakat akan terpelihara dari bencana-bencana tersebut menjadi masyarakat yang hidup, subur dan berkembang keutamaan di dalamnya salah satunya ialah melalui penyaluran zakat produktif. Pengertian ini yang hendaknya dapat digunakan dalam memahami Qur’an surat At-Taubah ayat 60 yang menjadi dasar hukum dalam penyaluran zakat.


Pengelolaan zakat di Aceh berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia karena Aceh memiliki regulasi khusus yaitu dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam UUPA terdapat tiga pasal yang berkaitan dengan pengelolaan zakat, yaitu: Pertama,Pasal 180, huruf d, zakat sebagai PAD. Kedua, Pasal 191 : Zakat, Harta Wakaf dan Harta Agama Lainnya. Ketiga, Zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak.

Diakamodirnya zakat sebagai PAD dalam UUPA merupakan suatu trobosan dalam pengelolaan zakat, zakat dapat dikelola lebih tertib, terencana dengan baik serta adanya pengawasan yang lebih ketat, sehingga diharapkan pengelolaan zakat dapat lebih transparan dan akuntabel. 


Di samping itu, pengelolaan zakat sebagai PAD diharapkan dapat menghadirkan rasa aman kepada amilin dalam melaksanakan tugasnya karena adanya kepastian hukum. Disamping itu, yang paling dinantikan ialah diimplementasikannya pasal 192 UUPA sehingga tidak terjadi Double Tax (pungutan ganda).


Regulasi Zakat Produktif

Dari hasil penelitian yang dilakukan DR. Ridwan Nurdin, M.CL dalam bukunya Zakat Produktif untuk Pemberdayaan Mustahiq, peluang penggunaan akad muamalah dalam pengelolaan zakat adalah Qardhul Hasan, Mudharabah, dan Murabahah. Dalam implementasinya hanya Qardhul Hasan yang dipakai. Selanjutnya dari 5 Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang diteliti (Baitul Mal Aceh, Badan Amil Zakat (BAZ) Provinsi Sumatera Barat, Baitul Mal Kota Banda Aceh, BAZ Kota Padang, BAZ Kota Padang Panjang, dan BAZ Batu Sangkar Kabupaten Tanah Datar), hanya 30 % zakat yang dikelola secara produktif.


Mengingat zakat sebagai PAD tentunya memerlukan regulasi yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum dalam pelaksanaannya. Secara nasional belum ada regulasi yang mengatur zakat sebagai PAD, namun dalam pengelolaan zakat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam Undang-Undang ini terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan zakat produktif, yaitu: pasal 27:, ayat (1) Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat. Ayat (2) Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi. Dan ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Selanjutnya derivatif UU tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2014 tentang Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif, pada Bab IV Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif, Pertama, Pasal 32 : Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat. Kedua, Pasal 33: Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dilakukan dengan syarat: a. apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi; b. memenuhi ketentuan syariah; c. menghasilkan nilai tambah ekonomi untuk mustahik; dan d. mustahik berdomisili di wilayah kerja lembaga pengelola zakat. Ketiga, Pasal 34: Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dapat dilakukan paling sedikit memenuhi ketentuan: a. penerima manfaat merupakan perorangan atau kelompok yang memenuhi kriteria mustahik; dan b. mendapat pendampingan dari amil zakat yang berada di wilayah domisili mustahik.


Zakat dan Infak Produktif di Aceh

Regulasi secara nasional (UU dan PERMEN) hanya mengatur zakat produktif, akan tetapi regulasi di Aceh berdasarkan UUPA yang selanjutnya di atur dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2021 tentang Baitul Mal (Qanun Baitul Mal), tidak hanya mengatur zakat sebagai PAD, melainkan juga mengatur pengelolaan infak sebagai PAD, sehingga dari dalam pengelolaannya dapat disamakan hanya berbeda dari aspek syariahnya saja, karena zakat harus disalurkan kepada asnaf sesuai ketentuan syariah, sementara infak dapat lebih fleksibel sehingga dapat lebih terbuka untuk disalurkan dalam bentuk produktif.


Kehadiran Qanun Baitul Mal melengkapi pengaturan dalam UU dan Permen yang berlaku nasional, karena dalam kedua regulasi tersebut tidak mengatur jika zakat disalurkan dalam bentuk produktif mengalami kendala, seperti mustahiq meninggal, gagal dalam menjalankan usahanya dan sebagainya. 


Qanun Baitul Mal telah mengatur hal tersebut sebagaimana terdapat di dalam Pasal 123 (1) Zakat yang disalurkan kepada Mustahik dapat berupa: a. uang; b. barang modal; c. barang habis pakai; d. jasa; dan/atau e. bentuk lainnya. (2) Zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Mustahik sebagai : a. hak milik; b. hak pakai; c. manfaat; d. dana bergulir; dan/atau e. pinjaman. 


Selanjutnya, Pasal 124 ayat (1) dan Pasal 125 ayat (2) Dana bergulir dan/atau pinjaman yang disalurkan oleh Sekretariat BMA/BMK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) huruf d dan huruf e, dapat dilakukan penghapusan dengan ketentuan sebagai berikut: a. meninggal dunia; b. tidak produktif lagi atau telah uzur; c. bangkrut (pailit); dan d. ditimpa bencana. Selanjutnya untuk pengelolaan infak produktif diatur dalam pasal 126 dan pasal 127, yang memberikan peluang penyaluran dana infak untuk pemberdayaan ekonomi. 


Kemudian derivatifnya telah diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 08 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Zakat dan Infak pada Baitul Mal Aceh, namun sepertinya belum ditindaklanjuti di Kabupaten/Kota melalui Peraturan Bupati/Walikota. Semoga Peraturan Bupati/Walikota dapat segera selesai, sehingga Baitul Mal atau OPZ lainnya yang berada di Aceh dapat memiliki petunjuk yang jelas tentang penyaluran zakat dan/atau infak produktif. Dengan demikian diharapkan transformasi mustahik menjadi muzakki dapat terealisasi. Amin ya rabbal alamin, Wallahu alam bishawaf.