Zakat dan Solusi Pengungsi Rohingya

  • Share this:
post-title

Oleh: Dr. Abdul Rani Usman, M.Si

Anggota Badan Baitul Mal Aceh

Artikel ini membahas zakat sebagai kebutuhan masa depan dunia dan kebutuhan global. Substansi zakat untuk membantu sesama manusia berdasarkan fitrahnya, mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Asnaf zakat ada delapan, tujuannya membantu orang yang lemah dari segi ekonomi, identitas dan kehidupan mereka. Kewajiban zakat bagi orang kaya ditujukan untuk mengangkat harga diri kaum yang lemah  agar setara dengan orang lain.  Seorang yang fakir-miskin diberi zakat supaya ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik berupa makanan, pakaian, dan pendidikan. Diharapkan dengan adanya zakat suatu saat mustahik juga dapat menunaikan zakat sebagaimana orang lainnya. 

Kehidupan sosial dan interaksi antar bangsa bergerak cepat seiring dengan lancarnya komunikasi digital dan medsos. Banyak orang miskin saat ini bisa menjadi kaya dengan berjualan melalui digital dan online. Sebaliknya banyak orang kaya bangkrut karena banyak bisnis mereka tidak menyesuaikan dengan kondisi zaman. Negara adikuasa tersaingi dengan lahirnya bangsa cepat maju seperti Singapura. Dan, adanya teknologi tinggi dikuasai oleh pemerintah membuat negara semakin diktator, sehingga terjadi diskriminasi terhadap warga negaranya, seperti Myanmar. Myanmar sebagai bagian dari ASEAN menjadi perhatian dunia karena terjadi kudeta oleh militer 1 Pebruari 2021.

Pelarian Etnis Rohingya

Salah satu asnaf zakat adalah Ibnu Sabil atau orang yang dalam perjalanan. Menurut Ibnu Zaid, Ibnu sabil adalah musafir, apakah ia kaya atau miskin, apabila mendapat musibah dalam bekalnya, atau hartanya sama sekali tidak ada, atau terkena sesuatu musibah atas hartanya, atau ia sama sekali tidak memiliki apa-apa (Qardawi, 2007: 645). Fenomena Rohingya tidak pernah luput dari masyarakat Aceh. Rohingya terbaru masuk ke Aceh Senin, (27/3/2023). Ali Hussein salah seorang Rohingya dari 183 orang mendarat di Desa Matang Peulawi, Aceh Timur.  Menurut Ali, mereka berangkat dari Bangladesh menuju Malaysia, namun diturunkan di laut dan disuruh berenang ke pantai. (Serambi Indonesia, 27/3/2023). 

Banyaknya etnis Rohingya ke Aceh menjadi  tanggung jawab bersama, terutama  United Nations High Commisioner for Refugess (UNHCR). Namun kedatangan Rohingya ke Aceh erat kaitannya dengan konflik dan perang di Myanmar. Collin menyebutkan, konflik, bencana, dan berbagai macam hal-hal buruk lainnya yang terjadi di belahan dunia membuat tingkat pengungsi dan pencari suaka bertambah. Orang ingin mencari kehidupan yang layak di tempat lain, karena di negerinya kelaparan, termarjinalisasikan, sampai diancam bunuh. Kondisi ini mengakibatkan migrasi penduduk dunia secara besar-besaran menuju negara-negara yang relatif aman dan stabil secara ekonomi (Jerry Indrawan, 2019: 77). 

Banyaknya pengungsi di dunia membuat UNHCR bersuara, karena mereka sudah sangat sedikit  dana untuk menangani pengungsi di seluruh dunia. UNHCR sebagai lembaga PBB menggalang dana dari berbagai sumber, terutama negara kaya dan makmur. Akan tetapi, setelah Covid-19 dan  konflik Rusia-Ukraina membuat dunia resesi dan sedikitnya perhatian kepada UNHCR. Di samping itu, pengungsi semakin banyak termasuk etnis Rohingya di Aceh. UNHCR saat ini menginginkan zakat dari negera Muslim diberikan kepada UNHCR guna membantu para pengungsi.

Terkait dengan zakat, Zainulbahar Noor, secara tegas menyerukan kepada PBB agar kegiatan UNHCR itu segera dihentikan (Republika, 23 Oktober 2022). Menurut Sekretaris Jenderal World Zakat and Waqf Forum (WZWF) Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan ekonomi umat. Jika dana zakat diambil oleh UNHCR, maka banyak negara Islam tidak dapat dibantu lagi, karena dananya sudah diambil untuk menangani pengungsi saja. Zainulbahar Noor menambahkan, jika dana zakat diberikan kepada UNHCR, maka negara muslim miskin di Afrika tidak dapat dibantu lagi, karena zakat sudah diberikan kepada badan pengungsi dunia.

Konsekuensi logis dari persoalan umat yang melanda dunia khususnya umat Islam, baik di Myanmar maupun di Palestina, maka persoalan yang prinsip adalah zakat harus dikelola oleh Baitul Mal dan senif Ibnu Sabil yang tertera dalam Al-Quran direalisasikan tepat sasaran. Fenomena yang dinamis inilah menjadi tanggung jawab negara muslim dalam menjaga kemaslahatan umat. Secara fikih, membantu Ibnu Sabil menjadi tanggung jawab negara tempat Ibnu Sabil itu berada. Namun, pengungsi tersebut saat ini sudah ditangani UNHCR. 

Pertarungan politik dunia antara Barat-Timur masih terus terjadi mengakibatkan krisis dana pada UNHCR. Fenomena tersebut menjadi lirikan UNHCR untuk menggaet dana zakat umat Islam dunia. Persoalannya, saat ini sudah ada lembaga PBB yang membantu pengungsi, seharusnya dana zakat belum dapat diberikan untuk UNHCR, karena negara muslim masih banyak membutuhkan zakat untuk menangani masalah kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan. 

Mencermati pengungsi Rohingya yang datang setiap bulan ke Aceh menjadi beban sendiri bagi Pemerintah Aceh dan dan masyarakatnya. Fenomena ini sudah seharusnya UNHCR bekerjasama dengan lembaga donor lainnya untuk membantu para pengungsi di Aceh. Fenomena menarik adalah, etnis Rohingya sudah sangat memahami kondisi masyarakat Aceh yang suka membantu dan memiliki solidaritas tinggi, maka mereka menjadikan Aceh sebagai tempat transit Rohingya. Artinya, UNHCR sudah sepantasnya membangun komunikasi dengan pemerintah Indonesia guna mencari jalan untuk menjembatani etnis Rohingya tidak banyak transit ke Aceh. Jikapun etnis Rohingya menjadikan Aceh sebagai tempat transit, maka UNHCR membangun tempat atau kantor perwakilannya di Aceh. 

Jika UNHCR membangun tempat penampungan etnis Rohingya di Aceh, maka akan mengurangi beban pemerintah pusat maupun Pemerintah Aceh. Disamping itu, UNHCR juga menghindari  meminta dana zakat untuk menangani pengungsi, walaupun secara sosial dibolehkan. Karena dana zakat masih sangat banyak diperlukan oleh masyarakat muslim di seluruh dunia. Lagi pula kedatangan etnis Rohingya ke Aceh atau pengungsi lainnya ke seluruh dunia belum menjadi alasan yang cukup bagi UNHCR untuk menggaet dana zakat. Karena, dana zakat tidak ada hubungan dengan politik. Umumnya terjadi pengungsian akibat dari konflik politik dari negara tertentu, maka dana zakat tentu saja belum dapat diberikan kepada UNHCR. 

Secara agama, dana zakat sepantasnya diberikan kepada pengungsi yang baru tiba ke tempat Baitul Mal ada. Akan tetapi, keterkaitan pengungsi tersebut tidak terlepas secara politik dan begitu mereka mendarat, maka UNHCR pun selalu siap meresponya setiap saat, karena Rohingya sudah sangat sering mendarat di Aceh. Konsekuensi logis fenomena Ibnu Sabil belum disalurkan karena pertimbangan kedatangan mereka ada sindikatnya dan UNHCR pun selalu siap menangani mereka. Oleh karena itu, BMA fokus kepada Ibnu Sabil yang benar-benar perjalanannya tidak mempunyai bekal dan hanya bersifat darurat dan tidak ada lembaga yang menanganinya. 

Zakat umat Islam masih sangat perlu untuk menangani kemiskinan di komunitas internalnya, sehingga secara universal belum saatnya menjalankan program zakat secara global dan mendunia. Jika masalah kemiskinan di komunitas muslim masih ada, maka zakat dijalankan secara kaffah dan menjadikannya zakat sebagai syariat global di masa akan datang. Wallahu a’lam.

Editor: Sayed M. Husen