Kedudukan Wakaf di Aceh

  • Share this:
post-title

Dr. Abdul Rani Usman, M.Si

AnggotaBadan Baitul Mal Aceh

Islam ajaran yang membela kaum dhuafa dalam berbagai bentuk baik ekonomi maupun sumber daya manusia. Perhatian Islam kepada kaum dhuafa sangat jelas karena manusia ditunjuk oleh Allah sebagai khalifah di bumi. Mengelola manusia dan alam adalah dikembalikan kepada manusia. Namun demikian manusia, alam dan hasil yang ada di bumi milik Allah. Kemanfaatan dari cerih payah manusia yang diamanahkan Allah adalah mengelola alam  untuk kepentingan manusia. Kemampuan manusia mengelola alam demi kepentingan makhluk Allah sebagai salah satu  subtansi dari ajaran Islam yaitu memberdayaakan sumber daya manusia melalui berinfak.

Anjuran Berinfak

Salah satu cara memberdayakan manusia dengan  menganjurkan umatnya untuk berinfak yang baik-baik  untuk kepentingan manusia yang berinfak maupun kepada yang menerima infak. Allah berfirman: Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, pada hal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan Ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji (Al-Baqarah 267). Dianjurkan kepada orang yang beriman untuk berinfak yang baik dari hasil usaha yang dikeluarkan dari bumi sebagai  kreativitas manusia yang menghasilkan uang dan merupakan miliknya. 

Shihab menafsirkan ayat 267 surat Al-Baqarah, dinafkahkan hendaknya yang baik-baik, tidak semua dinafkahkan, cukup sebagian saja. Dinafkahkan dari hasil usaha kamu dan dari hasil apa yang Kami, Allah keluarkan dari bumi (Shihab, Volume 1, 2007:576). Menafkahkan dari usaha manusia yang baik. Menurut Shihab jangan sampai kamu sengaja memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya. Jika ditelusuri ayat ini menjadi landasan bagi kaum muslimin untuk menginfakkan sebaik dari harta dari usahanya dan tidak memilih yang buruk untuk dinafkahkannya.

Menelusuri landasan al-Quran untuk berinfak disebutkan dalam surat Ali Imran 92: Kamu tidak memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha mengetahui (Ali Imran 92). Shihab menafsirkan yang diinfakkan hendaknya harta yang disukai, karena kamu sekali-kali tidak meraih kebijakan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan dengan cara yang baik dan tujuan serta motivasi yang benar sebagian dari apa, yakni harta benda yang kamu sukai. Jangan khawatir merugi atau menyesal dengan pemberianmu yang tulus, karena apa saja yang kamu nafkahkan , baik itu dari yang kamu sukai maupun yang tidak kamu sukai maka sesungguhnya tentang segala sesuatu menyangkut hal itu Allah maha mengetahui, dan Dia yang akan memberi ganjaran untuk kamu baik di dunia maupun di akhirat kelak (Shihab, Volume 2, 2006:151). 

Al-bir menurut Shihab, seraya menyebutkan jawaban Rasulullah ketika ditanya sahabat tentang al-birr sesuatu yang hati dan tenteram jiwa menghadapinya. Artinya menginfakkan hartanya adalah suatu kebajikan yang dipraktekkan oleh manusia yang beriman sehingga dengan berinfak hatinya tenang dan tenteram jiwanya.  Berinfak menjadi kebajikan menjadi dasar bagi kaum muslimin menginfakkan hartanya demi menolong manusia yang lemah.   Banyak ayat Al-quran yang menjelaskan dasar hukum untuk menginfakkan sebagian hartanya, al-baqarah, 261-171 dan Ali Imran 92. 

Terkait penjelasan bagaimana praktek menginfakkan hartanya dijelaskan dalam Hadis  Nabi: Diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata, “Suatu ketika Umar memperoleh tanah di Khaibar, maka ia menemui Rasullah untuk meminta saran mengenai tanah itu. Ia mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan tanah di Khaibar, dan aku belum pernah mendapatkan harta yang lebih berharga daripada itu. Apakah saran untukku? Beliau menjawab, ‘JIka engkau mau, sebaiknya engkau wakafkan pokok tanah itu, kemudian engkau sedekahkan hasilnya. Maka Umar pun mewakafkannya, dan tanah tersebut tidak bisa dijual, dibeli, diwariskan ataupun diberikan kepada orang lain. Dia menyedekahkan hasilnya kepada mareka yang fakir, sanak kerabat, para budak, mujahid di jalan Allah, ibnu sabil (yang tidak memiliki cukup bekal) dan para tamu. Orang yang mengurusinya dibolehkan untuk memakan sebagian hasilnya dengan sewajarnya, atau boleh juga memberikannya kepada sahabatnya dengan tanpa menyimpannya (HR. Bukhari, Muslim). 

Praktek pengelolaan wakaf di Aceh semenjak dulu dikelola oleh pemerintah baik pada masa kerajaan Aceh maupun setelah kemerdekaan. Artinya pemimpin ambil peran dalam pengelolaan wakaf di Aceh yang digabung dengan lembaga zakat seiiring dengan praktek syariat di Aceh. Konsekuensi logis dari ajaran Islam sebagai cerminan dari manajemen pemerintah menyatu dalam berbagai aspek kehidupan berlandaskan Islam berikut berkoloborasi dengan budaya Aceh itu sendiri. 

Pelaksanaan syariat di Aceh dimulai dengan praktek agama  yang dibawa oleh para pendakwah ke Aceh. Secara lembaga pengumpulan zakat/infak dimulai pada Sultan Alauddin Riayaat Syah (Rekam Jejak Dua Windu Baitul Mal Aceh 2023). Perkembangan struktur lembaga Baitul Mal di Aceh mengikuti perkembangan struktur kenegaraan dan pemerintahan Ulee balang setempat. Akan tetapi pengumpulan zakat dan wakaf umumnya diurus oleh para ulama, dan Qadhi di mana tempat itu berada. Fenomena tersebut berubah seiringan dengan politik pemerintahan pada waktu tertentu sekaligus  manajemen zakat dan wakaf dipegang oleh para qadhi, akan tetapi setelah pemerintahan Belanda dan Jepang maka sistem manajeman zakat dan wakaf dikontrol para penjajah, namun tanaf wakaf tetap terjaga dengan sendirinya dengan dikawal oleh masyarakat dan para penguasa setempat.

Sistem manajemen Baitul Mal  sebagai mana yang dipraktekkan oleh para sahabat Rasul dijelmakan oleh para ulul Al-bab di Aceh dengan sistem pemerintahan berkoloborasi dengan budaya setempat termasuk dalam pengurusan harta agama. Setelah kemerdekaan pemerintahan Aceh menata kembali sistem pengelolaan harta agama sesuai dengan Islam yang diprakarsai oleh pemerintah Aceh dengan mengeluarkan Perda Syariat Islam tahun 1968, nomor 6 Tahun 1968 dibawah koordinasi Majelis Ulama Indonesia Provinsi Aceh (Rekam Jejak Dua Windu Baitul Mal Aceh 2023).

Pemerintah Aceh setelah kemerdekaan menata kembali sistem pengelolaan zakat dan infak melalui lembaga Baitul Mal semenjak tahun 1968. Pada tahun 2003 dibentuklah organisasi dan tata pengelolaan Baitul Mal. Setelah keluarnya Undang nomor 11 tahun 2006 maka Baitul Mal menjadi lembaga resmi karena tercantum dalam pasal 191 yaitu zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten Kota. Sebagai realisasi dari Undang-undang maka lahirlah Qanun Aceh  nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Baitul Mal.

Secara regulasi pengelolaan wakaf di Aceh dikelola oleh Baitul Mal ditinjau dari hukum Islam, budaya, dan regulasi Nasional. Artinya pengelolaan wakaf di Aceh yang telah berlaku sejak turun temurun dikelola oleh pemerintah. Artinya manajemen wakaf dibawah kendali Mailtul Mal sebagai mana pengelolaan zakat. Subtansi dari manajem Baitul Mal yang mewadahi Zakat, Infak dan harta agama lainya seirama dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia dan seirama dengan Bhinneka Tunggal Ika. 

Kedudukan wakaf

Al-Quran Ali Imran 92, Al-Baqarah 267

Hadis Ibnu Umar di Ttg Khaibar

UUD 1945

UUPA 2006

Qanun Baitul Mal

Tags: