Wakaf Sebagai Aset Produktif

  • Share this:
post-title

Oleh: Mohammad Haikal, ST, M.I.F.P
Ketua Badan BMA

Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah sosial dalam Islam yang tidak hanya memiliki dimensi ibadah, tetapi juga potensi besar sebagai aset produktif. Optimalisasi pengelolaan wakaf di tingkat desa (gampong) dan masjid di Aceh diyakini dapat menciptakan sistem ekonomi yang adil, membebaskan masyarakat dari kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan umat.

Pengelolaan wakaf produktif dapat menjadi sumber pendapatan berkelanjutan bagi masyarakat. Wakaf yang dikelola oleh Baitul Mal Gampong (BMG), Badan Kemakmuran Masjid (BKM), dan nazir lainnya pada tingkat gampong dapat terbentuk ekosistem ekonomi syariah yang berkontribusi pada pengembangan keuangan sosial Islam secara keseluruhan. 

Hasil dari pengelolaan wakaf produktif ini diperuntukkan untuk membiayai program pemberdayaan umat, termasuk diantaranya pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas keislaman pada tingkat gampong.

Pengelolaan wakaf produktif pada tingkat gampong, akan membangun akses ekonomi masyarakat miskin supaya tidak lagi mencari fasilitasi dari tingkat kabupaten/kota atau provinsi.  Mereka akan dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan mereka melalui fasilitas wakaf dan memperoleh manfaat dari pengelolaan wakaf produktif di tingkat akar rumput.

Pengelolaan wakaf produktif sebagai instrumen pemberdayaan sosial dan ekonomi diyakini mampu mengurangi kesenjangan ekonomi dan penghasilan masyarakat, serta mewujudkan pembangunan yang adil dan merata. Dalam hal ini, wakaf produktif menjadi sarana pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat miskin dan  kaum tertindas (mustadhafin).

Oleh karena itu, wakaf produktif yang berbasis gampong dan masjid menjadi solusi ekonomi dalam mengimplementasikan kedermawanan, nilai-nilai keadilan sosial,  dan upaya memajukan ekonomi masyarakat (muslim).  Jadi melalui pengembabgan wakaf produktif, umat Islam dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan,  sehingga kesejahteraan akan terwujud.

Wakaf Produktif

Dalam hal ini, Baitul Mal Aceh (BMA) mendapatkan pengalaman dalam melakukan pendataan dan fasilitasi pengembangan wakaf produktif di Aceh. Pengalaman itu menunjukkan, beberapa bentuk wakaf produktif dapat dikembangkan pada tingkat gampong dan masjid. Misalnya, pengembangan lahan wakaf untuk pertanian sawit, durian, kopi, dan tanaman lainnya. Tanah wakaf juga dapat dimanfaatkan untuk peningkatan ekonomi masyarakat melalui sistem bagi hasil (mawah).

Sebagian tanah wakaf dapat diperuntukkan untuk mengembangkan peternakan melalui pemeliharaan hewan ternak seperti sapi, kambing, atau unggas. Hasil dari peternakan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dan kebutuhan hewan qurban setiap tahun.

Potensi tanah wakaf lainnya dapat diprodukitfkan untuk pembangunan industri kecil dan mikro seperti kerajinan lokal, pengolahan makanan, atau produksi kebutuhan sehari-hari. Hal ini sekaligus menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan keterampilan masyarakat.

Pengalaman lainnya, wakaf produktif dapat dikelola melalui sektor perdagangan dengan membuka usaha perdagangan atau pasar wakaf di sekitar masjid atau di pusat gampong. Upaya lainnya adalah mendorong pengembangan usaha mikro dan kecil di sektor perdagangan dan sektor keuangan (simpan pinjam).

Dalam pelaksanaannya, pengembangan wakaf produktif diwujudkan melalui kemitraan dan kolaborasi dengan pemerintah, lembaga keuangan, dan organisasi non-pemerintah baik pada tingkat nasional maupun internasional. Jika dikelola secara efektif, tanah wakaf, dan wakaf lainnya akan meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan umat.

Sumber Dana Abadi

Pengelolaan wakaf produktif pada tingkat gampong dan masjid menjadi sumber dana abadi,  sekaligus sebagai model pengembangan ekonomi dan bisnis masyarakat. Dengan demikian, wakaf akan lebih berkontribusi dalam menciptakan sumber dana abadi bagi pemberdayaan dan pengembangan masyarakat.

Oleh karena itu, program rintisan pengembangan wakaf produktif yang telah dilakukan oleh BMA sejak tahun 2022 melalui 14 nazir percontohan, perlu dilanjutkan dengan pendataan aset wakaf produktif lainnya di seluruh Aceh, merencanakan bisnis plan, dan pelaksanaan program wakaf produktif yang transparan.

BMA, sebagai fasilitator pengembangan wakaf produktif, seharusnya mendorong partisipasi nazir dan masyarakat agar program ini tidak hanya menjadi menara gading. Tidak cukup hanya sampai tahap bantuan modal pengembangan wakaf produktif, melainkan BMA melanjutkan dengan program lainnya seperti sertifikasi nazir, peningkatan kapasitas kelembagaan wakaf, pelaksanaan wakaf uang, serta merencanakan investasi di sektor wakaf.

Dalam hal ini, program investasi wakaf menjadi kebutuhan lanjutan, sebab di antara banyak aset wakaf yang tersedia pada basis gampong dan masjid di Aceh, terdapat potensi aset wakaf yang belum mampu dikembangkan oleh nazir. Maka diperlukan investasi dan konsultan wakaf profesional yang mendampingi nazir memberdayakan aset wakaf tersebut.

Wajar kiranya, BMA melakukan refleksi dan belajar lebih banyak lagi dari hasil evaluasi bantuan wakaf produktif pada tahun 2022 dan 2023, sehingga dapat melakukan penyesuaian strategi, program, dan target perubahan sosial ekonomi yang dapat diukur di tingkat gampong dan masjid. Dengan dasar ini, kita dapat merancang pengembangan aset wakaf sebagai sumber dana abadi. Wakaf pun akan berfungsi optimal sebagai aset produktif dalam masyarakat.

Tags: