Pengelolaan Wakaf di Era Digital

  • Share this:
post-title

Oleh: Ir. Arief Rohman Yulianto, MM

Pusat Kajian dan Transformasi Digital BWI Pusat


Wakaf adalah untuk membangun ekonomi dan peradaban. Wakaf basisnya ekonomi. Karena itu, kita harus menjadikan wakaf sebagai tulang punggung pengembangan ekonomi syariah. Dalam membangun ekonomi syariah, wakaf tidak bisa berdiri sendiri, tetapi satu paket dengan zakat, infak dan sedekah.

Saya melihat BMA memiliki potensi yang luar biasa untuk mendukung pembangunan ekonomi umat, karena dananya tersedia dari sumnber zakat, infak, wakaf, dan harta agama lainnya. Sumber-sumber dana itu dikelola terpadu di Baitul Mal Aceh. Tidak terpisah pengelolaan zakat dengan wakaf seperti di tingkat nasional.

Dalam hal pengelolaan zakat dan wakaf yang satu atap, BMA sudah tiga langkah lebih maju dibandingkan BAZNAS dan BWI, hanya saja perlu mengoptimalkan sumber daya yang ada dan menyiapkan digitalisasi.

Lalu, mengapa kita harus mengelola wakaf secara digital? Karena wakifnya hidup di era digital dan manfaat digitalisasi sangat terasa, cepat, mudah, dan transparan. Nazir yang berperan mengelola wakaf  dengan mudah dapat menjelaskan kepada wakif dan masyarakat tentang manfaat wakaf yang diterima maukuf alaih. 

Sebagai catatan, dalam pengelolaan wakaf, kita jangan hanya berlomba-lomba membesarkan asetnya, tetapi harus fokus membesarkan manfaatnya kepada maukuf alaih. Untuk ini, perlu dilakukan digitalisasi dalam penggalangan aset wakaf, pengelolaan aset, sinergi ekosistem dan dan digitalisasi penyaluran manfaat wakaf.

Model digitalisasi yang lebih besar yaitu digitalisasi sinergi ekosistem  dengan memanfaatkan banyak nazir lain, berkolaborasi dengan otoritas, bank syariah, investor dan lembaga keuangan syariah lainnya. Misalnya ada wakaf gedung, tetapi tak ada uangnya, maka libatkan investor dan pengelola yang kompeten, sehingga manfaat wakaf bisa lebih besar. Untuk ini, perlu bantuan digitalisasi guna mempertemukan nazir dengan investor.

Digitalisasi penggalangan aset dapat berupa wakaf tanah, wakaf tidak bergerak, wakaf uang dan wakaf melalui uang. Dalam hal ini, wakaf uang lebih besar risikonya yang hanya bisa diinvestasikan kepada investasi yang kecil risikonya, misalnya sukuk negara.

Sementa wakaf melalui uang lebih besar kemungkinan pemanfaatannya, karena yang diwakafkan bukan uang, tetapi wakaf aset yang akan dibeli dengan uang, misalnya wakaf tanah atau gedung. 

Digitalisasi pengelolaan aset adalah digitalisasi proses bisnis dan pelaporan nazir yang sesuai dengan PSAK 112  dan dalam penyampaian laporan kepada otoritas. Demikian juga digitalisasi penyaluran manfaat wakaf: e-money, yang misalnya dapat dilakukan melalui layanan syariah LinkAja, atau penyaluran sembako misalnya melalui UKM. Itu dapat dibuat sistem tersendiri.

Contoh  sukses model bisnis wakaf dapat dilihat dari pembangunan Rumah Sakit Mata BWI dan Dompet Dhuafa. Dalam praktiknya tanah wakaf telah tersedia; gedung dibangun dengan wakaf melalui uang; peralatan rumah sakit dari investor; modal kerja dari sedekah produktif LAZ; pengelola bisnis oleh perusahaan yang sudah terbukti sukses dan; subsidi dhuafa dari sumber dana zakat dan infak LAZ. 

Problem saat ini adalah, kita memiliki potensi besar tetapi belum ada yang mensinergikannya. Untuk itu, saya berharap Baitul Mal Aceh dapat memulai mengembangkan wakaf, karena potensi dan peluangnya cukup besar. Tinggal lagi kita sinergikan dengan mitra dan pemangku kepentingan di Aceh. Boleh juga sinergi dengan BWI Pusat.   

Untuk ini, perlu dibuat platformnya, misalnya untuk pengelolaan tanah wakaf produktif, kolaborasi dengan nazir wakaf uang dan lembaga amil zakat, investor institusional, UKM sukses dan publik.  Jadi sekali lagi, platform dapat mempertemukan investor dengan tanah wakaf yang akan diproduktifkan.


*Disarikan oleh Juliani dan Sayed MH dari Kuliah Umum Wakaf di Aula BMA, 13/10/2021