Solusi Permanen Anak Telantar

  • Share this:
post-title

Oleh: Sayed M. Husen

PNS Sekretriat Baitul Mal Aceh

Tim II verifikasi program kekerasan dalam rumah tangga dan anak telantar Baitul Mal Aceh (KDRT-AT BMA) melakukan verifikasi calon mustahik di Aceh Jaya, Aceh Barat dan Aceh Barat Daya, tanggal 5-7 Oktober 2021. Anggota tim terdiri dari Muklis Sya’ya (anggota Badan BMA), Ahyar (PNS), M Nasir (tenaga kontrak) dan saya sendiri. Tim menemui satu persatu dari 20 calon mustahik yang datanya diperoleh dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten/Kota.

Kami melakukan verifikasi untuk memastikan calon mustahik berasal dari keluarga miskin dan sesuai kriteria yang telah ditetapkan BMA, sebab program ini bagian dari pendistribusian zakat senif miskin. Dari data tersebut, 19 perempuan dan anak berstatus keluarga miskin, sementara satu orang lagi tidak sesuai kriteria dan bukan korban KDRT, namun sudah cerai mati dengan suaminya sepuluh tahun lalu. Memang pernah terjadi KDRT sebelum suaminya meninggal, tim menganggap kasusnya tidak aktual lagi.

Tulisan berikutnya fokus pada anak telantar, sebab tentang perempuan sebagai kepala keluarga telah ditulis sebelumnya (baitulmal.acehprov.go.id, 23/8/2021). Dari hasil verifikasi, tim mendapati masalah yang dialami anak antara lain: kekerasan seksual dilakukan oleh kakeknya, kekerasan seksual oleh ayak kandung, dan anak putus sekolah. Masalah lain adalah anak trauma psikologis, anak tidak dinafkahi oleh orang tua, dan anak kekurangan gizi. 

Tim juga mendapati kasus tidak efektifnya pengasuhan anak akibat konflik keluarga, kekerasan seksual oleh ayah tiri dan anak tanpa wali. Secara keseluruhan, problema yang paling mononjol adalah tidak adanya pemberian nafkah/biaya hidup akibat orang tuanya bercarai, rapuhnya ketahanan keluarga yang berakibat mudahnya suami istri bercerai. Ada juga perceraian yang tidak disertai keputusan pengadilan tentang kewajiban menafkahi/membiayai kebutuhan anak. 

Lebih konket, tim mendapati anak putus sekolah yang harus dipikirkan kelanjutan pendidikannya, biaya hidup, perbaikan gizi, biaya pendidikan, rehabilitasi trauma psikologis, dan penetapan wali pengasuh. “Solusi ini tentu saja tak bisa berdiri sendiri, namun harus didampingi dan diberdayakan juga ibunya, sehingga pembiayaan kehidupan anak berkelanjutan,” kata Mukhlis Sya’ya. 

Tim juga membicarakan dengan pendamping dari DP3A kab/kota supaya mengurus dua anak yang prioritas melanjutkan pendidikan, dengan alternatif pendidikan di pesantren atau panti asuhan. Kasuk lain adalah perlu mengurus perwalian satu anak di Aceh Barat yang tidak diketahui keberadaan kedua orang tuanya sejak kecil. Satu anak lagi kekurangan gizi. Selebihnya adalah perlu memenuhi kebutuhan sehari-hari anak, sebab ibunya berstatus sebagai kepala keluarga. 

Pertanyaan menarik di lapangan, mengapa kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak kerab terjadi? Untuk ini, diperlukan kajian yang mendalam, sekaligus menemukan solusi permanen terhadap masalah ini. Sekilas diketahui, bahwa kekerasan seksual terjadi akibat rendahnya pendidikan orang tua, kurangnya pengetahuan agama, tempat tinggal yang terasing/tidak layak, lemahnya kontrol keluarga, serta kurangnya kemandirian anak dalam bersikap. Anak kurang pengetahuan tentang alat-alat reproduksi dan seksualitas.     

Dari kegiatan verifikasi ini dapat dipahami, ternyata persoalan anak tidak terbatas pada anak yang telantar, namun yang menonjol justru kekerasan seksual. Untuk itu diperlukan solusi permanen terhadap persoalan-persoalan anak dan membangun sinerji yang efektif antar instansi terkait. Penyelesaian masalah anak tidak cukup hanya melalui pendekatan hukum atau letigasi, namun diperlukan juga pembinaan masyarakat secara intensif, sehingga memahami kewajiban melindungi anak, memenuhi hak-haknya, membiayai kehidupannya/nafkah dan menyadari kekerasan seksual/zina adalah dosa besar.

Untuk ini, BMA dapat berperan mengedukasi masyarakat tentang larangan melakukan kekerasan seksual/dosa zina (bekerjasama dengan Dinas Syariat Islam, MPU, dan Ormas Islam) dan membantu biaya pendidikan anak secara permanen/berkelanjutan hingga mandiri. Tidak cukup hanya memberikan santunan empati terhadap perempuan yang mengalami KDRT dan anak telantar. BMA perlu membangun sinergi yang efektif dengan instansi terkait dalam merumuskan solusi permanen terhadap anak telantar dan korban kekerasan seksual.*