Mengapa Zakat Belum Mengatasi Kemiskinan

  • Share this:
post-title

Oleh: Riza Rahmi, MPRA | Amil di Baitul Mal Aceh

Apa narasi yang jamak beredar tentang zakat? Rukun Islam ketiga, kewajiban bagi orang-orang yang hartanya telah mencapai nishab, bukti keimanan kepada Allah subhanahu wata’ala, jalan menyucikan dan mencapai keberkahan harta, upaya pemerataan kekayaan agar tak menumpuk di kalangan orang-orang berada saja, dan sumber pendanaan alternatif (kas negara dalam pandangan Islam) untuk menyelesaikan beragam persoalan ekonomi dan sosial di tengah masyarakat. Setidaknya, barisan narasi itulah yang kerap saya baca dan dengar ketika topik zakat dibincangkan. Secara keseluruhan, narasi tersebut sudah merangkum dimensi ganda zakat sebagai ibadah transedental (hablumminallah, bersifat pribadi antara hamba dengan Tuhannya) dan ibadah horizontal (hablumminannas, bersifat sosial antara hamba dengan sesamanya).

Di antara dua dimensi itu, nilai transedental zakat tampaknya lebih membumi di kalangan umat Islam. Salah satu ukurannya adalah giat berzakat naik berlipat di momen-momen tertentu seperti Ramadhan sekarang ini, ketika Allah menjanjikan pahala yang lebih besar untuk setiap ibadah dibanding bulan-bulan lain. Data pengumpulan zakat di Baitul Mal Aceh tahun 2020, 2021 dan 2022 menunjukkan, penerimaan zakat tertinggi terjadi di momentum Ramadhan dan Idul Adha. Keduanya merupakan waktu spesial bagi komunitas muslim. Padahal, jika dilihat dari syarat haul (waktu yang disyari’atkan untuk penunaian zakat), patokannya bukanlah Ramadhan atau Idul Adha, melainkan ketika harta kena zakat telah mencapai nishab dan telah dimiliki selama 1 tahun. Dengan kata lain, penunaian zakatnya dilakukan segera saat haul telah sampai, di bulan apa saja tanpa perlu menunggu waktu-waktu istimewa tadi. Bahkan, untuk zakat penghasilan bagi pekerja di Aceh yang pendapatan tetapnya telah mencapai Rp6,9 juta/bulan selama 12 bulan, penyetoran zakat dapat dilakukan setiap bulan, segera setelah gajinya ia terima. 

Ukuran lain yang menunjukkan kurang populernya dimensi sosial zakat adalah kecenderungan muzakki (orang-orang yang berzakat) untuk menyalurkan zakatnya secara mandiri, bukan melalui institusi amil resmi. Meski tidak diharamkan, menunaikan zakat secara mandiri berpeluang mempersempit dampak sosial-ekonomi zakat, khususnya berkaitan dengan cita-cita mengurangi kemiskinan.  Kok, bisa? 

Ketika muzakki menyalurkan zakatnya sendiri-sendiri, tiga skenario terjadi: pertama, total zakat yang disalurkan kepada mustahik (penerima zakat) jumlahnya terbatas, karena bersumber dari 1 orang; kedua, zakat biasanya disalurkan kepada kenalan atau orang terdekat tanpa need assesment (analisa kebutuhan) yang menyeluruh; ketiga, pertautan dari skenario pertama dan kedua tadi menyebabkan zakat cenderung hadir dalam rupa konsumtif. Zakat disalurkan dalam bentuk beras dan kebutuhan dapur lainnya atau berupa uang tunai yang ditujukan untuk membeli sembako. Sepintas, penyaluran semacam ini tampak memenuhi fungsi sosial zakat. Tetapi, jika dilihat peta besarnya, bantuan semacam ini kurang tepat ditujukan kepada semua golongan mustahik karena belum tentu sesuai dengan persoalan yang ia hadapi, serta tidak memiliki daya ubah yang signifikan dan berkelanjutan. Meski secara dimensi transedental, kewajiban sebagai muzakki telah ditunaikan.

Tentu ada alasan kuat di balik hadirnya amil sebagai salah satu senif (golongan) penerima zakat dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 60. Dibanding tujuh senif lainnya, posisi amil amatlah unik. Di satu sisi, amil adalah pengelola zakat. Di sisi lain, ia adalah penerima zakat. Amil diberikan hak maksimal sebesar 1/8 atau 12,5% dari total zakat yang ia kelola. Al-Mawardi dalam kitabnya “al-Hawi al-Kabir” menukil pendapat Imam Syafi’i rahimahullah, bahwa amil adalah orang yang diangkat oleh wali atau penguasa untuk mengumpulkan zakat.  Artinya, menurut syari’at, tidak sembarang orang dapat mengangkat dirinya menjadi amil. 

Andai dimensi transedental zakat lebih dominan, kenapa Islam sampai melibatkan penguasa atau negara dalam pengelolaan zakat? Di antara hikmahnya, sebagaimana diurai Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqih Zakat, adalah agar zakat dapat dikelola dengan lebih profesional, tertib secara administrasi, serta membawa dampak yang lebih luas, sesuai dengan maqashid al-syariah, yaitu: terlindunginya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kaum muslimin. Zakat bukan hanya menjadi solusi jangka pendek, tetapi juga memberikan kontribusi jangka panjang bagi mustahik.

Hal berikutnya yang menyebabkan zakat gagal mewujudkan cita-cita menanggulangi kemiskinan adalah, diskursus tentang potensi sosial-ekonomi zakat seringnya berkisar di seputaran statistik atau angka. Dalam banyak kesempatan, ketika berdiskusi tentang zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan, isu yang rutin mengemuka ialah tentang belum optimalnya capaian penghimpunan zakat, seperti: potensi zakat Indonesia mencapai Rp327 Triliun, tetapi yang berhasil dikumpulkan “hanya” Rp21 Triliun. Atau jika berkaitan dengan penyaluran, kemegahannya juga lebih sering diangkat lewat statistik, berupa realisasi zakat tersalur. Pertanyaan kritisnya, berkaitan dengan cita-cita pengentasan kemiskinan saat ini, apakah persoalan utamanya ada pada tataran “angka” atau “dana” semata?

Menanggulangi kemiskinan merupakan pekerjaan besar yang barangkali akan jauh dari kata selesai. Keberadaannya telah setua Republik ini, diemban turun-temurun lintas generasi pemimpin. Jika kita lihat dengan jeli, hampir seluruh anggaran yang tersedia, baik di institusi pemerintah maupun swasta, dari tingkat pusat hingga gampong, telah diarahkan untuk tujuan mengatasi kemiskinan atau memperbaiki taraf hidup golongan pra sejahtera. Karenanya, tidak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa dana bukanlah ganjalan utama. Jika zakat juga masuk dalam pusaran ini dan didiskusikan hanya sebatas angka, maka cara pandang terhadap Baitul Mal juga akan sempit menjadi sekedar “kantong uang.” Zakat akan setara dengan anggaran di institusi lain pada umumnya, yang pengelolaannya tidak rigid memenuhi batasan-batasan fikih zakat atau prinsip maslahah lainnya. Efektifitas kinerja (key performance indicator) Baitul Mal akan bertumpu pada grafik uang masuk dan uang keluar semata. Hal ini akhirnya bermuara pada turunnya semangat dan kreatifitas amil dalam mengoptimalkan daya guna zakat, sebagaimana diamanahkan syariat di balik alasan filosofis diakuinya institusi amil dalam at-Taubah ayat 60.

Langkah penguatan dimensi sosial zakat di Aceh sudah dicoba lakukan oleh Baitul Mal Aceh (BMA). Amanah penyaluran zakat sejak awal telah diterjemahkan untuk memenuhi dimensi transedental maupun sosial. Dalam struktur Sekretariat BMA, bagian yang bertanggungjawab terhadap penyaluran zakat terdiri dari Subbag Pendistribusian dan Subbag Pendayagunaan. Artinya, pendekatan yang dipilih dalam mengelola zakat bukan hanya terbatas pada urusan mendistribusikan (membagi-bagikan secara konsumtif), tetapi juga ada kesadaran terhadap kewajiban untuk mendayagunakan (meningkatkan nilai guna atau dampak melalui program-program produktif). Hanya saja dengan kerendahan hati harus diakui, masih banyak PR di sana-sini. Meminjam dengan sedikit penyesuaian kata-kata Chairil Anwar dalam Karawang Bekasi, “kita sudah coba apa yang kita bisa, tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti Rp102 miliar titipan 6500 muzaki pada 2022.”

Hipotesis yang saya kemukakan ini mungkin dini dan amatir. Karenanya, semoga dapat  membuka ruang diskusi lanjutan, mengingat zakat adalah satu-satunya ibadah yang dimensi sosialnya paling kentara dan praktikal dibanding empat rukun Islam lainnya. Wallahu waliyyut taufiq.

Catatan: Tulisan ini sudah dimuat pada rubrik opini koran Serambi Indonesia (1/4)

Tags: