Niat Menunaikan Zakat

  • Share this:
post-title

Oleh: Abdul Rani Usman
Anggota Badan BMA

Zakat merupakan rukun Islam ketiga. Semua orang kaya wajib menunaikan zakat guna membersihkan jiwa dan hartanya. Zakat sebagai ibadah maka seseorang yang menunaikan zakat harus disertai niat. Menunaikan zakat membutuhkan keinginan yang kuat untuk menolong orang dhaif (lemah). Kesucian Islam tercermin dari ajaranya, salah satunya adalah membantu orang-orang terzalimi dari segi ekonomi. Menolong orang fakir-miskin menjadi prioritas dalam amalan sosial melalui zakat. Mayoritas ulama berpendapat, menunaikan zakat dengan syarat harus disertai dengan niat.

Menurut Qardawi seraya berpedoman kepada mazhab Maliki, niat itu merupakan syarat dalam mencukupi zakat (terhadap kewajiban). Adapun zakat yang diambil dari orang yang enggan mengeluarkannya dengan cara paksa, maka pendapat Ibnu Arabi adalah bahwa hal itu memenuhi syarat, akan tetapi zakat tersebut tidak menghasilkan pahala (Qardawi, 2007: 782). Firman Allah dalam surat Al-Bayyinah ayat 5: “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya  semata-mata karena (menjalankan)  agama,  dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).”

Qardawi menekankan, bahwa si muzaki itu meyakini yang dikeluarkan adalah zakatnya atau zakat harta orang yang ia keluarkan, seperti harta anak dan orang gila. Tempat niat itu adalah hati; karena tempat semua hal adalah hati. Niat hukumiah itu dianggap memenuhi syarat sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama Maliki. Niat inilah yang membedakan antara ibadah dengan yang lain. Dengan tidak diterimanya zakat di sisi Allah tanpa disertai niat, maka akan jelas bagi kita segi ibadah dari zakat (Qardawi, 2007: 783). Artinya menunaikan zakat dimulai dengan niat dalam hati muzaki.

Semua pekerjaan disertai dengan niat, maka zakat yang diberikan harus dengan niat. Jika ada orang kaya tidak mau menunaikan zakat, maka penguasa akan mengambilnya. Penguasa mengambil zakat tanpa ada niat dari pemilik harta adalah memenuhi syarat, jika dilihat dari sudut undang-undang saja, artinya ia tak usah dituntut untuk membayarkannya kembali. 

Fatwa yang dikemukakan mazhab Hanafi adalah bahwa jika petugas mengambil zakat dari orang yang wajib mengeluarkannya, dengan secara paksa maka hal itu memenuhi syarat, dan gugurlah kewajiban dalam harta zahir; karena bagi si penguasa mempunyai kekuasaan untuk mengambilnya. Akan tetapi, hal itu tidak mengugurkan kewajiban dalam harta batin (Qardawi, 2007: 785). Harta zahir  adalah yang mungkin tidak dapat disembunyikan seperti tanaman dan binatang ternak. Sedangkan harta batin harta yang mungkin disembunyikan, seperti emas dan harta perdagangan.

Seseorang menyerahkan zakat harus dengan niat. Jika pemilik harta mewakilkan maka niatnya kepada wakilnya dan untuk diserahkan kepada yang berhak. Menurut Hanbali, diperbolehkan mendahulukan niat sebelum memberikan, dengan tenggat waktu yang tidak lama, seperti halnya ibadah-ibadah yang lain. Dan, karena ini pula, maka diperbolehkan mewakilkan di dalam niat. Qardawi menyimpulkan yang memudahkan dan menganggap cukup serta menganggap diterima. Cukuplah bagi si muslim berniat secara umum saja pada waktu mengeluarkan zakat (Qardawi 2007: 787).

Mengkaji secara mendalam tentang niat zakat, tentunya si muzaki pada awal dari usahanya ia sudah berniat. Misalnya, jika usahanya itu sukses ia akan menunaikan zakat sesuai anjuran Islam. Sesuai dengan niat untuk berzakat dapat disimak Sabda Nabi: “Diriwayatkan dari Abu Ayyub bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi, beritahukanlah kepadaku tentang suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga. Lalu orang-orang berkata, “Apakah itu? Apakah itu? Maka Nabi bersabda, Apakah Rabb membutuhkannya. Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menyambung silaturahmi.” (HR Bukhari)

Jadi sahnya ibadah karena disertai niat. Sesuai dengan hadis dianjurkan beribadah kepada Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Artinya, jika sesuatu amalan disertai niat, maka akan mendapat pahala. Bagaimana dengan zakat? Seseorang yang ingin beramal salah satunya dengan zakat. Jika ada orang kaya tidak berniat menunaikan zakat dan memang tidak mau mengeluarkan zakat, sehingga diambil oleh penguasa bagaimana niatnya? 

Menurut Imam Nawawi, apabila orang enggan mengeluarkan, tidak berniat pada waktu diambil maka bebaslah tanggung jawabnya, baik harta zahir maupun harta batin, tidak diperlukan niat si penguasa. Apabila tidak berniat, maka niat penguasa memenuhi syarat dalam harta zahir, tidak usah dituntut untuk berniat untuk kedua kalinya. (Qardawi, 2007: 784).

Berdasar sabda Nabi, sah perbuatan itu hanyalah dengan niat. Substansi ibadah hanyalah dengan niat. Meniatkan sesuatu dengan hati. Niat seseorang tidak dapat dimaknai oleh orang lain. Akan tetapi, niat itu hanyalah orang yang melakukannya yang dapat memahami. Ulama mazhab Hanafi telah menetapkan mesti bersamaannya niat dengan mengeluarkan zakat, yakni pada waktu menyerahkannya pada orang-orang fakir atau pada penguasa, karena ia merupakan wakil dari si fakir. Mereka mensyaratkan bersamaan, karena ini merupakan asalnya, sebagaimana  dalam ibadah lainnya.

Karena itu, jika seseorang menunaikan zakat semestinya disertai dengan niat. Sebagian berpendapat niat itu dibunyikan agar lebih afdhal. Artinya, setelah diniatkan dan ketika menyerahkan dibunyikan, zakat apa, dari sumber zakat dan jumlahnya. Hal inilah yang sering dipraktikkan di Baitul Mal Aceh (BMA) ketika muzaki menyerahkan zakatnya secara langsung melalui amil. Lalu, amil menerimanya seraya mendoakan muzaki. Wallahua’lam. 

Editor: Sayed M. Husen