Sinergisitas BWI dan Baitul Mal dalam Mengelola Wakaf

  • Share this:
post-title

Oleh: Sayed Muhammad Husen

Profesionalisme pengelolaan waqaf di Aceh sangat ditentukan oleh fungsi regulator, pembinaan dan pengawasaan yang dilakukan Kementerian Agama (Kemenag), Badan Waqaf Indonesia (BWI) dan Baitul Mal (BM). Di sinilah yang menjadi perhatian sekarang, yang membuat gerakan waqaf di Aceh belum begitu maksimal. Penentu lainnya adalah nadzir. Kita dapat katakan, gerakan waqaf tertinggal jauh dibandingkan menajemen dan kesadaran berzakat.

Kita tidak menafikan banyak hal telah dilakukan Kemenag, misalnya mengeluarkan Akte Ikrar Waqaf, sertifikasi waqaf, pembinaan nadzir, serta sosialisasi dan edukasi. Hanya saja, hal itu belum sebanding dengan potensi waqaf dan masalah-masalah yang dihadapi dunia perwaqafan. Kita masih mendapati banyak harta waqaf yang hilang, konflik dengan ahli waris atau waqaf belum diproduktifkan.

Kita memang mengetahui, bahwa perwakilan BWI telah dibentuk di Aceh. Namun kita belum mendapatkan informasi yang memadai tentang kinerjanya, pembentukan BWI kabupaten/kota dan apa program prioritas. BWI di Aceh masih bersifat elitis dan belum efektif menjalankan kewenangan dan fungsinya.

Kita juga tahu, bahwa BM memiliki kewenangan pengelolaan waqaf seperti diatur pasal 191 UUPA. Persoalannya, sejauh mana BM menggunakan kewenangan, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap nadzir, serta melakukan pemberdayaan harta waqaf.

Masalahnya kemudian, sejauhmana komitmen dan sinergi Kemenag, BWI dan BM dalam pengelolaan waqaf, menyelesaikan sengketa waqaf dan memproduktifkan waqaf potensial. Sinergi juga diperlukan guna menjamin kelestarian waqaf dan mengedukasi calon waqif baru. Masih cukup banyak persoalan waqaf yang perlu diselesaikan bersama. Bukan hanya memundakkan tanggung jawab kepada nadzir.

Apabila kita urut, maka Kemenag, BWI dan BM perlu merumuskan banyak hal terkait pengelolaan waqaf, misalnya pembinaan nadzir, memproduktifkan waqaf dan pengaturan perubahan harta waqaf. Masalah lain seperti pemberhentian nadzir (jika diperlukan), pengawasan penukaran waqaf dan membuat kebijakan di bidang perwakafan.

Kita juga menganggap penting Kemenag, BWI dan BM memanfaatkan peluang status keistimewaan dan kekhususan Aceh. Dengan status ini, misalnya, Aceh bisa membuat regulasi waqaf tunai, sehingga penghimpunan, pengelolaan dan pendayagunaan waqaf tunai di Aceh tak harus melalui izin BWI Pusat Jakarta. Waqaf tunai tentu saja sangat berarti bagi peningkatan kesejahteraan ummat di Aceh.

Sumber: Gema Baiturrahman, 19/01/2018/2 Jumadil Awal 1439